Monday, December 30, 2013

Dua Bersaudara (Pantai Goa Cina dan Bajul Mati)

Gara-gara melihat foto ala prewed milik Fauzi dan Dini di Pantai Goa Cina, saya jadi ngiler ingin ke sana. Dengan berkedok menghadiri syukuran di rumah Arif, saya memutuskan untuk menyambangi pantai di ujung Kabupaten Malang itu bersama teman-teman kuliah. Bersepuluh, kami berangkat pukul 9 pagi dari rumah Arif. Pantai Goa Cina terletak di Desa Sitiarjo, Kecamatan Sumbermanjing, memiliki arah yang hampir sama dengan Sendang Biru. Sepanjang jalan yang berkelok-kelok, mata kami disuguhi pemandangan yang cukup segar dibandingkan jajaran gedung tinggi yang berimpit di Surabaya. Mendekati pantai, kami bertemu dengan jalan berbatu yang naik turun sepanjang 900 meter. Dengan tidak memperhitungkan sejauh apa 900 meter itu, saya turun dari motor dan mencoba berjalan kaki. Baru 50 meter melangkah sudah membuat nafas saya tersengal. Ya sudahlah, dengan mengesampingkan gengsi, saya kembali naik ke boncengan motor salah satu teman saya dan duduk manis saja sepanjang jalan berbatu.

Sampai di Pantai Goa Cina, matahari sudah sangat tinggi. Cuaca terik, pasir putih, dan air laut yang bening, benar-benar favorit saya. Dengan berlatar batuan-batuan besar di tengah laut, kami menghabiskan waktu untuk berfoto. Batuan yang tampak hijau berlumut berjajar di sepanjang perbatasan pasir dan air laut. Dan, di bawah pohon kelapa, dengan semilir angin laut yang segar, ditemani keripik kentang dan minuman rasa buah, tepi laut menjadi sangat menarik.


Foto fultim, ki ke ka: saya, Hadi, Waba, Dani, Bayu dewe, Jimmi, Paundra, Arif, Mbak Atim, Mbak Mimin

Sepi dan bersih, saya suka

Goa Cina, panas sekali bukan?

Puas menjejaki pasir Pantai Goa Cina yang panas, kami beranjak ke tujuan berikutnya, Pantai Bajul Mati. Melewati jembatan Bajul Mati yang cukup terkenal, pantai berikutnya ditempuh dalam 30 menit saja. Kami segera menuju warung ikan bakar yang berderet di sepanjang pantai. Sialnya, dari sekian banyak warung, semuanya sedang kehabisan stok ikan. Sigh! Alhasil, kami hanya bisa memesan Indomie goreng dan nasi putih. Melas.

Bajul Mati memang tidak sebagus Goa Cina, tapi pantainya yang lebih landai membuat saya betah berlama-lama bermain air di sana. Waktu berjalan sangat cepat oleh kelakar teman-teman yang membuat perut saya kram menahan tertawa. Pasir pantai memang ajaib, bisa membuat Hadi dan Dani yang "alim" ikut ber-gangnam style bersama-sama di atasnya. Ada sedikit perasaan tidak rela saat harus membersihkan diri ketika matahari mulai merendah. Akhirnya, dengan ditemani gerimis di sore hari, iring-iringan motor kami pergi menjauhi pantai, menuju rumah Arif, untuk kembali ke aktivitas di Surabaya esok paginya.

Ini yang membuat saya menyukai tempat ini
Ya, pantai berpasir putih dan kawan lama adalah kompilasi yang tidak pernah membosankan. Dalam satuan memori, ada banyak hal di hari itu yang membuat saya selalu mengingat teman-teman saya. Dan, jika ada yang menuduh saya menyembunyikan celana Waba sore itu, "Percayalah Wab, aku tidak mungkin melakukan perbuatan sehina itu. Hahaha". Ah, saya jadi rindu berlibur dengan teman-teman lama. Yuk, keluarkan kamera (yang sepertinya sudah lama tidak terpakai) dan mulai berlibur!

Friday, December 20, 2013

Back to December


Desember itu basah. Hujan turun hampir di setiap harinya, seringkali mengacak-acak rencana yang sudah disusun rapi, kadang bisa membuat saya terjebak di kostan dengan perut yang lapar, dan sering membuat saya flu di saat akan menghadapi ujian.
Sebenarnya hanya kebetulan, saya menyukai bulan Desember. Kebetulan saya sering jalan-jalan di bulan ini. Kebetulan saya lebih banyak makan di bulan ini. Dan kebetulan saya bertemu dengan banyak orang di bulan penghujung tahun ini. Baiklah, Desember memang sedikit menyebalkan dengan intensitas hujannya yang kurang sopan. Namun, karena hujan, saya jadi bisa menikmati saat-saat terjebak di kedai kopi semalaman bersama kawan-kawan. Hujan yang membuat saya ketagihan mi rebus warung kaki lima di jalanan Surabaya. Hujan pula yang membuat saya betah duduk manis di dalam rumah bersama keluarga ditemani sepiring penuh pisang goreng hangat buatan ibu.

Di bulan Desember, alih-alih membuat resolusi menjelang tahun baru, saya lebih sering berjalan ke belakang mengingat hal-hal menarik setahun ini. Saya suka mengingat saat-saat mengemper bersama teman-teman di warung lesehan ronde pinggir jalan untuk menghabiskan malam. Saya juga masih ingat bagaimana rasanya diobrak-abrik dan diusir satpam karena terlalu sering menginap di kampus, masih ingat rasanya menggembel bersama banci di Monas, masih ingat saat terdampar malam-malam di Pasuruan menunggu bis antarkota, juga ingat kejadian-kejadian nyasar yang rutin terjadi. Masih jelas di memori saya saat nyasar ke sebuah pantai yang tidak jelas wujudnya di Pulau Madura bersama salah seorang kawan. Di sana kami hanya berjalan dan makan banyak gorengan di sebuah warung milik seorang nenek penduduk asli. Setelah lama berbincang bersama pemilik warung -yang hampir 80% saya tidak mengerti bahasanya-, kami pulang dengan meraba-raba arah mencari jalan pulang.

Di Desember ini, seperti sudah mempunyai ritme, saya masih dengan aktifitas yang hampir sama dengan bulan sebelumnya. Bangun pagi, berangkat, pulang, berjalan-jalan sore tanpa tujuan di sekitar komplek, memasak, dan istirahat. Selingan hanya ada di akhir pekan dengan berenang, berolahraga, membaca buku perjalanan yang baru saya beli di sebuah kios buku bekas, dan jalan-jalan ke tempat yang itu-itu saja. Bahkan Palembang yang sekecil ini belum sepenuhnya saya jelajahi. Saya sampai bingung apa yang sebenarnya sedang saya inginkan.

Desember kali ini, menjadi saksi metamorfosa saya menjadi orang "baik-baik", yang punya hidup lebih teratur. Tapi, kenapa saya justru merasa tidak nyaman ya? Ah, saya akan mencoba bersikap tak acuh. Sambil ditemani secangkir milo panas di sore ini, saya bernyanyi mengikuti lagu milik Taylor Swift dengan lirik ala saya yang lebih banyak ngawur.

"I go back to December, turn around and make it alright
I go back to December, turn around and change my own mind
I go back to December all the time, all the time..."

Friday, November 15, 2013

Sebuah Blog dan Penulisnya (Hifatlobrain)

Beberapa tahun yang lalu, saat saya masih menjadi mahasiswa baru, saya sempat mengikuti sebuah acara yang diadakan himpunan mahasiswa kampus dimana Mas Ayos Purwoaji menjadi salah satu pembicaranya. Mas Ayos adalah seorang penulis perjalanan sekaligus fotografer yang sibuk dengan aktivitasnya menikmati hidup. Di dalam kelas tempat digelarnya sharing session itu, Mas Ayos sedikit banyak membagikan pengalaman-pengalamannya menjadi seorang fotografer. Ketimbang menjelaskan teori-teori fotografi, saya melihat dia lebih banyak melawak dalam sesi berdurasi 2 jam tersebut. Bukan berarti mas-mas ini minim ilmu ya, memang gaya bicaranya saja yang seperti orang tanpa dosa. Ringan, komunikatif, dan menarik. Bahkan seakan dia mau mengesampingkan "harga diri" asal semua bisa mengerti dan menikmati materi yang dibawakannya. Sejak saat itu saya memutuskan untuk mengagumi mas-mas berambut minimalis ini. Ya, karena mengagumi orang tampan dan pintar sepertinya sudah sangat mainstream. Hahaha.

Setelah tahu kalau ternyata mas Ayos punya sebuah blog, segera lah saya googling blognya. Saat itu yang ada di bayangan saya adalah blog-blog sesat seperti milik Raditya Dika dan sejenisnya yang banyak menonjolkan ke-absurd-an pemiliknya. Dan ternyata saya salah. Blog milik Mas Ayos yang bertajuk Hifatlobrain ini tidak sebodoh namanya, blog laiknya milik orang normal pada umumnya. Hifatlobrain adalah kumpulan catatan perjalanan yang lebih menonjolkan pengalaman perjalanan, tidak sebatas mengulas wujud destinasi-destinasi wisata populer seperti yang sekarang banyak ada. Dalam blognya lebih banyak dibahas sisi lain dari sebuah perjalanan. Ya, saya sangat setuju, karena inti dari sebuah perjalanan adalah perjalanan itu sendiri. Bahkan suatu destinasi yang biasa bisa menjadi sangat menarik jika memiliki kisah di balik perjalanannya.

Bagi seorang anak manja yang nirpengalaman seperti saya, membaca kisah perjalanan ala Mas Ayos menjadi hal yang berbeda, hal yang bisa membuat saya berkali-kali menganggukkan kepala di setiap rentetan kalimatnya. Saya suka gaya bahasanya yang renyah, tapi tetap tidak meninggalkan detil-detil yang menarik. Mas Ayos bercerita dengan sudut pandang anak jalanannya, bukan dengan menepuk dada. Hasilnya tidak seperti tulisan-tulisan wisata yang jumawa dengan pamer destinasi dan kenyamanan perjalanan lalu berujung dengan unggahan foto-foto narsis di media sosial.

Selain deretan tulisan yang sukses membuat saya betah duduk lama di depan laptop, saya juga disuguhi banyak foto ciamik milik Mas Ayos. Untuk saya yang masih awam dengan dunia kamera, hasil bidikannya cukup membuat saya menelan ludah ingin belajar fotografi. Dengan caption sederhana, foto-foto Mas Ayos lebih banyak bercerita. Kemudian, membuat saya semakin betah menjadi seorang autis yang bisa berjam-jam membuka halaman blog yang sama.

Sekali lagi, saya suka gaya Mas Ayos. Saya masih mengagumi paket komplitnya. Mulai dari blog dimana dia bisa menyimpan dengan rapi kekacauannya, selera perjalanannya, hasil-hasil jepretannya, sampai gaya hahahihi-nya. Walaupun saya tahu si mas-mas ini kadang agak "sesat", saya tetap suka. Karena, kadang kita menemukan kebahagian saat kita "tersesat". No offense ya, Mas :)

Monday, November 11, 2013

Karena Bahagia itu (memang) Sederhana

"Bersepeda itu seperti berlari, tetapi lebih cepat. Menyenangkan. Saya bisa merasakan angin yang menyentuh kulit saya yang sedang berkeringat. Belum jelas bagaimana kaitannya, yang jelas saya suka."

Di pagi hari
Dengan tas ransel di punggung, saya mengayuh sepeda menerobos deretan mobil yang berjalan merayap memenuhi jalanan pagi hari, melewati jalanan kampus yang rindang, melaju perlahan di tepian danau kecil, dan mengayuh dengan hati-hati menghindari jalan paving kampus yang mulai rusak.

Di tengah hari
Di bawah sinar matahari yang membuat wajah saya semakin gelap, dengan keringat yang mulai mengalir, dan masih dengan tas ransel yang melekat di punggung, saya mengayuh sepeda dengan cepat menyusuri jalanan sekitaran kampus yang ramai.

Di sore hari
Dengan beban di pundak yang terasa lebih berat, saya melambatkan laju sepeda mengelilingi area kampus, sambil mencari penjual kudapan di sekitaran masjid, untuk mengganjal perut saya yang selalu lapar.

Di Palembang saya belum punya sepeda. Sepertinya sudah saatnya saya mengencangkan ikat pinggang dan mulai menabung untuk membeli sebuah sepeda :)

Thursday, October 31, 2013

Retoris

Ada kalanya pertanyaan dari ibu kepada saya hanya formalitas. Kali ini saya tidak ingin menjawab, atau mungkin saya tidak bisa menjawab, karena saya merasa selama ini sudah terlalu sering berkata tidak.


"Tak apalah, yang penting ibu bahagia.."

Friday, October 18, 2013

Pasir yang Adiktif

Tengah tahun di 2011, sebagai pelarian saya di tengah-tengah kerja praktek. 


Setelah berjam-jam duduk di kursi belakang mobil yang saya tumpangi, akhirnya saya sampai di Legian. Saat itu kantong saya masih berlabel mahasiswa kost-kostan, jadi saya harus memutar otak bagaimana agar biaya perjalanan ke Bali kali ini bisa ditekan. Beruntung saat sampai di Pelabuhan Ketapang saya bertemu dengan sebuah keluarga asli Bali yang akan pulang kampung. Kami hanya membayar sekian puluh ribu untuk tumpangan 3 orang. Sampai di Legian malam hari. Segera saya mencari penginapan murah berpedoman pada referensi yang saya kumpulkan dari internet.

Setelah sejenak meletakkan punggung ini di kasur penginapan, saya memutuskan untuk main ke pantai. Saya sudah sangat rindu dengan pasir Pantai Kuta. Saya kangen suasana Kuta di malam hari. Saya dan salah satu teman saya mulai menyusuri gang kecil Poppies Lane yang sangat ramai di malam hari. Hanya ada segelintir pribumi diantara ratusan warga asing yang berlalu-lalang. Kami tampak aneh dengan pakaian panjang dan jaket tebal diantara bule-bule yang berpakaian pendek dan tipis. Sepanjang jalan banyak yang menawari kami agar mampir ke kedai mushroom (semacam minuman memabukkan yang terbuat dari jamur) milik mereka. Tampaknya tawaran mereka hanya sekedar ledekan pada orang-orang cupu yang sedang lewat seperti kami.

Karena urusan perut, mampirlah kami ke KFC yang berada tepat di seberang pantai. Restoran ini menjadi opsi terakhir kami karena sulit mencari tempat makan halal di sekitaran pantai, terlebih di malam hari. Yang ada hanya bar-bar berisi penuh wisatawan asing yang sedang menikmati musik khas diskotik sambil minum-minum. Saya memilih meja terluar dari restoran untuk makan sambil menikmati suasana Kuta. Jalanan sangat ramai. Suara musik house yang dimainkan para disc jockey bercampur dimana-mana. Sedikit demi sedikit pengunjung pantai berkurang dan beralih ke bar-bar yang tampak semakin penuh sesak. Sebenarnya saya merasa sangat kikuk di tengah suasana ini. Saya tidak suka. Bahkan sedikit terselip rasa takut kalau terjadi apa-apa. Tapi saya mencoba tetap terlihat santai dengan penampilan saya yang "aneh" dari yang lain.

Malam sudah semakin larut. Pukul setengah 12. Segera saya menghabiskan sisa minuman soda saya untuk segera berjalan ke pantai. Menginjak pasir pantai, saya mencari tempat yang cukup dekat dengan batas air laut. Dengan hanya diterangi lampu-lampu di seberang jalan, saya duduk menikmati debur ombak yang terasa sangat dekat. Ya, saya hanya duduk dan tidak berbuat apa-apa, mengarahkan pandangan saya jauh ke lautan yang gelap. Sesekali saya menengok ke arah utara, melihat kembang api warna-warni sisa pesta para turis.

Sambil merasakan angin pantai yang semakin dingin, saya meletakkan punggung saya di atas pasir. Lelah di pundak seakan menumpuk ingin direbahkan sejenak. Saya sedikit sekali mengobrol dengan teman di samping saya yang rupanya ikut membaringkan badannya di pasir. Hanya sesekali terdengar suara obrolan kami, sisanya hanya suara musik bar dan deru ombak. Ah, saat-saat favorit saya, diam mendengarkan suara ombak di malam hari.

Pukul 12 malam suara musik dan ombak terdengar semakin sayup di telinga saya. Dan saya mulai tertidur. Beralaskan pasir Pantai Kuta, di bawah langit Kota Denpasar belahan selatan, ditemani suara debur ombak yang tidak pernah terputus, saya melepas lelah. Tak tahu berapa lama saya tertidur. Yang saya ingat, pantai sudah sangat sepi saat saya terbangun. Sambil mengembalikan kesadaran, saya membersihkan pasir-pasir yang menempel di jaket. Masih dengan angin yang bertiup kencang dan udara yang dingin, saya merapatkan kedua lengan dan segera beranjak untuk kembali ke penginapan.

Selama 4 hari di Bali, saya tidak absen mengunjungi Pantai Kuta setiap malam. Sama seperti malam sebelumnya, hanya memperhatikan aktivitas para turis asing, bersila di atas pasir, dan berbaring mendengarkan suara ombak. Kalau ada kesempatan lagi, saya masih mau mengulang momen-momen tidak penting itu. Mungkin di lain kesempatan, masih di pantai yang sama.

Tuesday, October 8, 2013

Tengah Hari di Minggu ke 7

"Del, siang ini makan di sini saja, bareng-bareng," suara Pak Haji Kus mengalihkan perhatian saya dari pesan-pesan WhatsApp yang sedang saya baca. Pak Haji Kus adalah salah satu staf di tempat saya menjalani training di minggu ke-7 ini. Selama 3 hari saya belajar di sebuah gedung arsip berukuran sedang yang terpisah sedikit jauh dari gedung utama tempat saya sehari-hari mempelajari materi. Hari ini saya memutuskan makan siang bersama rekan-rekan saya di gedung arsip, meninggalkan kebiasaan saya makan bersama teman-teman seangkatan seperti sebelumnya.

Hari ini saya beruntung mendapat sebungkus nasi ayam bakar Padang gratis. Perut yang sudah lapar membuat saya tidak sempat basa-basi untuk menolak rejeki siang ini. Segera saya ke dapur mengambil piring, sendok, dan segelas penuh air putih, kemudian bergabung dengan yang lain di ruang tengah. Di ruangan 3x4 m yang dingin itu sudah berkumpul Pak Anton serta kakak-kakak pegawai outsourcing yang biasa mengangkut puluhan kardus arsip di gedung ini. Tinggal menunggu Pak Haji. Saya menatap satu per satu bungkusan nasi di atas meja yang sudah siap disantap. Eit, tidak ada piring dan sendok di atas meja, hanya ada satu, yaitu piring dan sendok yang tadi saya bawa. Yang lainnya cukup dengan hanya membasahi tangan di air mengalir. Pak Haji datang dan serempak kami membuka bungkusan nasi masing-masing. Hm, nasi putih yang masih hangat, ayam bakar bumbu Padang, sayur nangka, dan sebungkus kecil sambal cabai ijo, membuat perut saya semakin lapar. Tanpa komando kami segera melahap nasi porsi jumbo di hadapan kami. Kakak-kakak di sana tampak mulai berkeringat karena rasa pedas sambal yang bercampur nasi hangat. Saya tidak terlalu suka makanan pedas, tapi melihat kakak-kakak itu makan, membuat saya semakin berselera. Kali ini saya makan banyak sambal, membuat mata saya sedikit berair karena tidak tahan menahan pedas. Ya, di sini kami makan sesuka kami, dengan lauk seadanya, dengan nasi porsi besar, dan dengan suasana yang akrab. Sembari makan kami banyak mengobrol. Membicarakan tentang apa saja. Tentang memancing, tentang makanan-makanan enak yang murah, tentang lelucon-lelucon orang Palembang, tentang bahasa Palembang saya yang masih acak-acakan, tentang saya yang akan disembelih di lebaran haji besok, dan banyak hal. Dengan suara yang lantang, dengan perut yang semakin kenyang, dengan celotehan dan gerakan-gerakan bodoh kami yang membuat saya tidak berhenti tertawa, siang ini saya makan dengan lahap. Tanpa ada beban. Tanpa sungkan.

"Bu Adel, saya nak begawe dulu, barang-barang sudah menunggu", Kak Arifin menggoda saya dengan panggilan "Bu". Saya hanya tertawa dan membalas, "monggo, Om", dilanjutkan dengan tawa seluruh ruangan yang kemudian mengakhiri obrolan kami siang itu.

Mau seperti apa manusia, pasti selalu memikul beban. Entah itu sangat ringan atau berat, hanya kita yang merasakan. Tidak ada parameter yang jelas. Sama seperti bagaimana kita bersyukur, tidak akan pernah ada tolok ukurnya. Yang harus saya garis bawahi, bersyukur itu juga berlaku untuk hal-hal kecil, yang selama ini sering terabai oleh saya.

"Mungkin leher saya sudah terlalu lama mendongak ke atas, ketika saya menengok ke bawah, tiba-tiba pundak ini terasa lebih ringan"

Monday, September 23, 2013

5 Tempat Paling Nyaman untuk Menghabiskan Usia (versi saya)

Hidup bahagia di usia matang adalah salah satu cita-cita saya. Saya berusaha tidak munafik dengan berkata saya tidak butuh uang, tetapi saya tidak muluk untuk menjadi sangat kaya atau hidup berlebihan. Saya ingin semuanya berjalan imbang, sederhana, sehat jasmani rohani, dan tentunya hidup tentram. Saya ingin tinggal di kota yang nyaman sambil menua nanti. Akan sangat menyenangkan jika mendapat bonus sebuah rumah kayu sederhana di tepian laut dengan kebun kecil di sampingnya. :)

Saya mencoba membuat daftar 5 tempat yang paling nyaman untuk tinggal versi saya. 

5. Makasar
Saya belum pernah menjejakkan kaki di Pulau Sulawesi. Saya ingin sekali merasakan atmosfer bermasyarakat di pulau bagian timur Indonesia ini. Saya ingin berbaur dengan orang-orang baru disana, mengenal kebiasaan-kebiasaan masyarakatnya, dan mengunyah makanan-makanan enaknya setiap hari. Saya belum banyak tahu tentang kota ini, hanya sebatas Pantai Losarinya yang sudah terkenal itu dan kuliner autentiknya yang enak. Namun, sering saya dengar kalau Sulawesi adalah surganya bawah laut. Jadi, kalau saya mulai bosan dengan kota ini, menjelajah Sulawesi lebih jauh sepertinya akan sangat menarik. 

4. Mataram - Lombok
Masih karena keindahan alamnya, saya menaruh kota ini di urutan 4 sebagai kota paling nyaman versi saya. Pulau Lombok yang bisa menyandingi kemahsyuran Bali ini memang indah. Mulai dari pantai-pantainya yang masih alami, perpaduan berbagai kultur yang menarik, sampai eksotisme gunung tertinggi kedua di Indonesia yang memikat. Meskipun alamnya masih alami, bukan berarti pulau ini minim fasilitas. Infrastruktur sudah lama menggeliat, transportasi umum sudah banyak berkembang, akses ke luar pulau juga lebih mudah. Apalagi saat ini sudah banyak penerbangan murah dari Lombok ke Jawa sebagai antisipasi kalau saya merindukan kampung halaman.

3. Bandung
Ada satu hal yang menjadi madu bagi saya untuk tinggal di kota ini, kulinernya. Semua pasti sependapat, Bandung adalah surga makanan enak. Saya berharap hari saya tidak akan membosankan dengan dikelilingi makanan-makanan enak. Selain bisa memanjakan perut, di Bandung saya juga bisa menjaga mata saya tetap segar dengan banyak mengunjungi wisata-wisata alamnya yang indah. Kota ini dikelilingi gunung-gunung yang siap memberi saya pasokan udara segar setiap saat.

Saya suka dengan orang-orang berpikiran kreatif, dan mereka ada di Bandung. Saya berpikir bahwa kota ini akan selalu menarik dengan banyak hasil otak kreatif masyarakat Bandung. Di kota kembang ini juga banyak orang-orang pintar datang dari penjuru tanah air untuk menuntut ilmu. Paling tidak bermasyarakat di kota ini akan terasa lebih nyaman dibanding Jakarta yang penuh sesak dengan orang-orang individualis.  

2. Bali
Pulau yang menjadi primadona wisata di Indonesia ini memang selalu menarik perhatian saya. Karena saya adalah pecinta pantai dan selalu terobsesi untuk menghabiskan masa tua saya di daerah pesisir pantai, saya sempat meletakkan Bali di urutan jawara. Namun, karena saya merasa sedikit kesulitan mencari makanan halal dan tempat ibadah di tempat ini, maka saya menggesernya ke urutan kedua. Di luar semua itu, saya tetap mengagumi semua eksotisme Bali. Mulai dari jajaran pantainya yang indah, dataran tingginya yang nyaman, sampai seni dan kulturnya yang masih melekat kuat di masyarakat. Bahkan saya cukup senang hanya dengan mendengarkan alunan musik khas Bali, sebuah hiburan auditif sederhana.

1. DIY Jogjakarta
Seperti namanya, kota ini memang istimewa. Istimewa dengan segala daya tariknya. Ya, saya mencintai kota ini dalam paket lengkapnya. Di kota ini saya bisa menyambangi pantai-pantai cantik di Gunung Kidul setiap saat saya mau. Selain itu saya hanya perlu beranjak beberapa kilometer dari kota ini saat rindu udara gunung yang menyegarkan paru-paru saya. Di kota ini pula nilai-nilai sejarah dan kebudayaan masih terasa hangat. Dan semuanya itu beradu sangat cantik dengan masyarakatnya yang ramah. Medhok jawa kalem yang menjadi identitas masyarakatnya ini serasa lebih mudah mengakrabkan saya dengan penduduk asli, sangat berbeda dengan logat Suroboyo yang terkesan sedikit kasar.

Banyak hal yang menarik hati saya untuk menetap di Kota Keraton ini. Saya suka dengan makanan-makanan murahnya yang enak, saya suka jalanannya yang masih teratur, dan saya suka sekali hidup berdampingan dengan orang-orang terpelajar dari penjuru negri yang menuntut ilmu di Jogjakarta. Fasilitas transportasi umum di kota ini juga cukup memadai, mulai dari bus transjogja yang nyaman sampai becak tradisional yang banyak tersebar di seluruh kota. Dan, untuk orang dengan kebutuhan modernitas yang tidak terlalu tinggi seperti saya, Amplas dan jajaran department store di Malioboro sepertinya sudah cukup.

Di kota dengan tingkat kebahagiaan penduduk paling tinggi ini, saya merasa tentram, bahkan hanya dalam kesederhanaan. Saya merasa benar-benar ada di rumah, rumah sebagai tempat saya selalu ingin pulang dan merasa nyaman meskipun tidak berbuat apa-apa. Katakanlah saya sedang bosan dan tidak tahu harus berbuat apa, maka duduk manis di alun-alun Kota Jogja di malam hari akan menjadi pilihan yang menarik. Yah, saya ingin menua di Jogja..
 
 "Saat kita sibuk mengejar kebahagiaan, sebenarnya kita tidak sadar bahwa saat itu kita sedang tidak bahagia."

Saturday, September 7, 2013

Menginjak Tanah Sumatra

Tanggal 19 Agustus lalu saya resmi menjejakkan kaki di Pulau Sumatra untuk pertama kali. Masih abu-abu antara yakin dan tidak, saya akan memutuskan tinggal di Palembang untuk waktu yang cukup lama. Banyak hal yang membuat saya ragu untuk bermasyarakat di sini. Dan, hanya 2 hal yang menahan saya untuk tetap di sini, karena orang tua saya, dan keinginan saya untuk mencicipi sesuatu yang baru. Kalau ini menjadi batas aman saya, saya merasa keputusan saya masih di dalam lingkaran aman itu. Di kota ini mungkin saya menemukan banyak hal baru, tapi beriringan dengan waktu, semuanya menjadi hal biasa. Saya akan hidup dengan rutinitas, dengan keadaan sehari-hari yang berfluktuasi rendah. Yah, saya benar-benar masih di zona aman saya, masih dikelilingi dengan kenyamanan, hal-hal repetitif dan minim resiko, menurut saya. Saya tidak tahu apakah ini sudah sepadan dengan keputusan saya hidup terlalu jauh dari kedua orang tua saya yang semakin menua. Ah, kenapa tulisan ini menjadi melankolis. Saya menulis tentang Palembang saja lah, salah satu kota (cukup) besar di Pulau Sumatra tempat saya mengais rejeki saat ini.

***

Palembang dalam sekilas saya, adalah kota yang panas, sederhana, dan sedikit kurang teratur. Panas sangat menyengat di siang hari, sederhana karena masih jauh dari kemegahan kota-kota besar di Pulau Jawa, dan tidak teratur oleh aktivitas para pengguna jalan juga lalu lintas yang semrawut. Saya cukup terganggu untuk poin yang terakhir. Jalanannya kurang tertata dengan rapi. Banyak mobil dan angkot yang ngawur. Tak jarang pula saya temukan pengendara tanpa helm yang melenggangkan motornya dengan santai di jalan yang ramai.

Saat pertama kali menginjak tanah Sriwijaya, angin malam yang hangat menerpa wajah, mengingatkan saya dengan Surabaya. Saya baru beberapa hari di Palembang dan sudah sedikit merasakan atmosfer kota ini. Orang palembang berbicara dengan lantang, dengan ritme yang cenderung lebih cepat, dan logat yang cukup khas. Bahasa yang digunakan tidak jauh berbeda dengan bahasa nasional kita. Kebanyakan hanya mengubah huruf "a" menjadi "o" di akhir kata, seperti lima menjadi limo dan dimana menjadi dimano.

Dengan mencicipi pem-pek, mengunjungi Jembatan Ampera dan Jakabaring, serta solat di Masjid Agung, saya sudah resmi mengunjungi Palembang sepenuhnya. Dan, hingga saya membuat tulisan ini, belum ada hal yang menarik hati saya untuk tinggal cukup lama di kota ini. Semuanya nampak sangat biasa, seperti dugaan saya. Beruntung di sini saya bertemu dengan banyak orang menyenangkan dan sangat pintar yang membuat saya kerasan.

Sependek pengetahuan saya, kota Palembang baru menggeliat beberapa tahun terakhir saat didaulat menjadi tuan rumah Sea Games ke 26. Sebelumnya kota ini masih jauh dari gambaran sebuah kota besar. Sekarang, infrastruktur banyak diperbaiki, sarana umum dibuat semakin nyaman, dan telah banyak dibangun tempat yang mewadahi kebutuhan para golongan menengah atas menghabiskan waktu senggang. Kota yang semakin maju, tidak selalu bersinonim dengan tingkat kenyamanan masyarakatnya. Aksi kejahatan tampaknya masih rutin terjadi. Di Palembang, mengeluarkan komputer tablet atau smartphone di pinggir jalan menjadi hal yang sangat tidak disarankan. Pisau bisa kapan saja menusuk perut anda jika tidak hati-hati. Bahkan, pelaku kriminal di Jakarta juga banyak berasal dari Palembang. Hmm..

Tiga minggu di sini saya sudah beberapa kali keluar masuk pusat perbelanjaan untuk melengkapi kebutuhan pindahan saya yang masih kurang. Mulai dari mall, jajaran kios grosiran, sampai pasar tradisional sudah saya kunjungi. Di hari ini saja saya sudah menyusuri 2 pasar tradisional yang berbeda. Kesannya sama, penjual di sini tidak terlalu ramah. Pun ada beberapa yang ramah, berasal dari Pulau Jawa atau belahan Sumatra yang lain. Saya sempat kena marah oleh beberapa penjual di pasar Lemabang hanya karena bingung menjawab pertanyaan dari mereka. Saya kaget dan sangat kikuk. Saya jadi merasa tidak nyaman saat menego si penjual agar menurunkan tawaran harganya. Saya temukan juga bahwa banyak pembeli di pasar yang tidak kalah sinis dan kasar.

Tak hanya di pasar tradisional, saya juga menemukan orang-orang serupa di pusat belanja modern seperti Palembang Square (PS), Palembang Trade Center (PTC), dan Palembang Indah Mall (PIM). Banyak orang yang enggan mengantri, tak acuh dengan yang lain, dan sedikit tidak sopan. Saya sempat mendapat sindiran dari ibu-ibu muda saat saya beruntung mendapat pelayanan lebih dulu di sebuah toko roti. Ditambah lagi gerombolan remaja yang tanpa sungkan menyerobot antrian, mendesak dengan tak acuh orang-orang di depan kasir. Homo homini lupus. Benar-benar menghilangkan selera saya pada sepotong roti keju yang baru saya beli. 

Satu hal lagi yang membuat saya ragu menetap di sini, Palembang sangat jauh dari pantai. Kalau boleh jujur, hal itu cukup mengganggu pikiran saya. Baiklah, saya berlebihan, tapi beberapa hari di Palembang sudah membuat saya kangen dengan pasir tepi laut. Dasar otak saya, rentan tersugesti dengan pikiran-pikiran manja khas anak kecil.

Di luar sudut pandang manja saya, Palembang masih punya daya tarik. Saya suka pem-pek, lenggang, dan es kacang merahnya. Selama perut ini masih banyak terisi makanan enak, kota semonoton apapun akan tetap menarik untuk saya. Di luar urusan perut, saya juga merasa nyaman dengan masyarakat Palembang yang cenderung lebih religius dibanding masyarakat kota asal saya. Paling tidak di sini saya bisa mencoba memperbaiki pribadi saya yang, begitulah. Mengamini juga tentang teori-orang-baik-ada-dimana-mana, saya bertemu dengan orang-orang baik asli Palembang yang banyak menolong saya di sini. Meskipun masih dengan cara bicara yang lantang, mereka ikhlas membantu orang-orang baru seperti saya.

Palembang dengan segala sisinya, akan menjadi tempat saya menghabiskan hari, setidaknya untuk beberapa tahun ini. Apapun bisa terjadi. Dan, saya sedang menunggu si "apapun" itu terjadi.

"Saya tidak punya cukup uang untuk membeli masa tua saya, dan saya tidak punya cukup nyali untuk membeli masa muda saya."



Sunday, August 11, 2013

Si Anti-mainstream

Sumber

Sekarang banyak sekali orang yang secara tidak sadar melabeli dirinya sebagai seorang anti-mainstream. Karena semua orang ingin menjadi anti-mainstream, lama-lama seseorang yang mainstream lah yang menjadi seorang anti-mainstream. Sebenarnya sah-sah saja kalau seseorang ingin nampak berbeda dari orang kebanyakan. Namun, berbeda ceritanya kalau seseorang berlaku yang anti-mainstream hanya untuk menunjukkan eksklusivitas dirinya. Menurut saya menjadi anti-mainstream sendiri itu ada dua, yang pertama adalah berlaku berbeda karena dia nyaman dengan semua keanehannya, yang kedua adalah berlaku aneh hanya demi menginginkan gelar anti-mainstream itu sendiri. Sayangnya tipe kedua ini sepertinya lebih banyak ditemukan daripada yang pertama. Sebenarnya itu tidak akan menjadi masalah kalau orang-orang tipe kedua ini tidak membicarakan atau bahkan mengolok-olok para mainstream. Kalau sudah nyaman dengan ke-antimainstream-an anda, kenapa harus mengintimidasi para mainstream. Itu kan hanya masalah selera dan kenyamanan seseorang. Bukankah suatu hal yang wajar kalau banyak orang memiliki selera yang sama. Sejak kapan berselera sama menjadi sebuah aib? Lagipula menurut saya setiap orang memiliki dua sisi mainstream dan anti-mainstreamnya masing-masing, mungkin hanya kadarnya saja yang berbeda. Tidak ada orang yang sepenuhnya anti-mainstream, atau sebaliknya. Jadi, tidak ada alasan untuk terlalu membanggakan diri menjadi seorang anti-mainstream, kan?


Friday, August 2, 2013

Selamat Ultah, Ndeso..


"Selamat 23 tahun, Gussita. Semoga selalu dalam lindungan-Nya. Semoga tercapai semua cita. Semoga tercapai semua obsesi kegaulan dan kecantikanmu. Hahaha."


Wednesday, July 31, 2013

Di atas Gerbong Kereta Api Ekonomi

Saya adalah salah satu pelanggan setia kereta api ekonomi. Alasannya jelas, karena aman dan murah. Ayah saya sudah mengenalkan moda transportasi ini sejak saya masih SD. Saat kuliah saya jadi semakin akrab dengan transportasi darat ini. Setiap bulan atau bahkan setiap minggu saya tidak pernah absen menggunakan kereta api untuk pulang ke Mojokerto. Saking seringnya saya naik kereta api, stasiun terasa seperti rumah sendiri. Saya hafal satpam-satpamnya, saya tahu penjual asongannya, dan saya sangat hafal mana mbak-mbak loket yang baik dan yang judes.

Yang menarik dari agenda rutin saya naik kereta api ini adalah, saya bisa menemui banyak hal yang jarang saya temui di rumah atau pun di kampus. Bagi yang belum tahu suasana gerbong kereta api ekonomi, saya akan menggambarkannya sedikit. Di dalam gerbong sering kita temui penumpang yang berdiri karena kehabisan tiket duduk atau memang penumpang nakal yang tidak mengantongi tiket. Suasana gerbong sangat ramai. Tak jarang kita temukan penumpang yang memutar lagu-lagu sejenis ST 12 yang khas dengan irama melayunya, dan tentu saja dengan volume suara yang tidak pelan. Suasana jadi semakin bising dengan suara penjual asongan dan segerombolan pengamen yang menyanyi sambil teriak-teriak.

Membuang sampah di lantai gerbong adalah hal yang dianggap "halal". Ada beberapa penumpang yang menganggap itu tidak baik dan menyarankan untuk membuang sampah ke luar jendela. Yah, menurut saya itu lebih parah daripada membuang sampah di lantai gerbong karena paling tidak sampah di lantai akan dibersihkan petugas dan dibuang di tempatnya. Tapiii, saya juga menemukan kenyataan bahwa ada petugas-petugas "nakal" yang membuang sampah yang sudah terkumpul tadi ke sawah.

Selain kebiasaan buruk membuang sampah, saya juga tak asing dengan penumpang-penumpang yang seenaknya menduduki kursi penumpang lain. Alasannya hanya karena malas cari nomer kursi. Hah. Belum lagi penumpang-penumpang yang doyan sekali menaikkan kaki ke kursi di depannya, dan tak jarang itu adalah kursi saya. Di luar masalah sopan dan tidak sopan ya, sebenarnya itu tidak masalah buat saya. Yang membuat saya sedikit kesal adalah cara ibu-ibu itu menyodorkan kakinya ke kursi saya, tanpa ijin dan bahkan dengan tatapan sinis. Oh Tuhan, salah apa pantat saya??!

Fasilitas di dalam gerbong kereta api juga tak luput dari dampak kebiasaan buruk para penumpang. Mulai dari kursi yang semakin tidak berbentuk, kaca jendela yang sulit dibuka tutup, sampai toilet yang saya-berjanji-tidak-akan-menggunakannya-kalau-tidak-benar-benar-kepepet. Ya..tapi saya tidak berhak protes, itu memang "harga" sebuah tiket kereta ekonomi di Indonesia, kalau mau lebih nyaman ya silakan pilih kelas bisnis atau eksekutif.

Sebenarnya wajah kereta ekonomi tak seseram itu kok. Banyak juga ditemukan orang-orang yang acuh, orang-orang yang menyimpan sampahnya sampai turun dari kereta, orang-orang yang mencari nomor kursinya sampai ke gerbong sebelah, dan orang-orang yang rela duduk separuh pantat demi berbagi kursi dengan penumpang yang berdiri. Tergantung pribadi masing-masing sih ya. Kalau semua penumpang peduli, mungkin angkutan seharga 5000 untuk jarak dekat ini akan terasa lebih nyaman. Kenyataannya di Indonesia, ketidaknyamanan sepertinya selalu melekat pada semua hal yang berlabel ekonomi. Yah..

Friday, July 12, 2013

Hello, Ramadhan!

Thank God it's Ramadhan! Akhirnya saya bertemu lagi dengan bulan 1000 berkah ini, dengan bonus badan yang masih segar dan keluarga yang masih lengkap. Alhamdulillah ya. Meskipun pemahaman saya tentang Ramadhan masih sekitar itu-itu saja, kedatangan bulan ini tetap selalu menarik bagi saya. Dengan usia yang yang sudah berkepala dua ini, saya masih seperti saya saat kecil yang masih dangkal dalam memaknai Ramadhan. Yah, masih sebatas menahan haus dan lapar, memperbanyak munajat, buka puasa bersama, dan sholat tarawih berjamaah. Hal-hal seperti itu saja sudah membuat saya kangen dengan bulan ini. Maklum ya, makan bersama saat sahur dan buka di rumah itu adalah hal yang menyenangkan bagi saya yang jarang sekali makan sekeluarga lengkap. Saya juga selalu menunggu-nunggu momen ngabuburit bersama teman-teman, buka bersama, lalu tarawih bersama. Hal-hal kecil tapi selalu saya tunggu.
 
Saya mulai puasa pada hari Rabu lalu. Kalau ditanya saya menganut aliran Muhammadiyah atau NU, saya sendiri tidak tahu pasti. Yang jelas, saya penganut aliran TVone. Kalau Sidang Isbat yang ditayangkan TVone memutuskan besok puasa, ya mulai lah saya berpuasa pada keesokan hari itu. Saya sendiri tidak ingin mengkotak-kotakkan umat dari agama saya. Baik Muhammadiyah maupun NU, menurut saya semua umat muslim itu sama, dan tidak ada alasan untuk saling menekan. Selebihnya saya tidak tahu banyak. Itu pendapat saya sebagai seorang kroco dalam hal ilmu agama, atau mungkin saya adalah pemain lama, tapi belum bisa berkembang sampai sekarang. Yah..

Tarawih pertama Ramadhan kali ini saya jalani di Masjid Cheng Ho Surabaya dan menjadi kali pertama saya solat tarawih di sana. Kemarin saya menemukan bahwa di masjid yang bergaya Tionghoa ini kita bisa memilih solat tarawih 8 rakaat atau pun 20 rakaat. Setelah 8 rakaat tarawih akan ada solat witir dengan imam yang berbeda. Setelah itu solat tarawih dilanjutkan hingga 20 rakaat beserta witir 3 rakaat. Seperti yang bisa ditebak, jamaah yang bertahan untuk melanjutkan solat tarawih 20 rakaat hanya segelintir orang dari banyak sekali jamaah. Dan sangat bisa ditebak, saya memilih solat witir setelah tarawih sebanyak 8 rakaat. Masjid ini memang multikultural dan benar-benar memfasilitasi "perbedaan" umat Islam. Di luar sesuai atau tidaknya dengan pemahaman Islam yang lebih dalam, saya suka dengan sistem di masjid ini. Seakan semakin menegaskan bahwa masjid ini bukan milik Muhammadiyah atau NU, tapi milik semua umat Islam, masjid yang menjadi favorit saya sejak pertama kali datang beberapa tahun lalu, dan masjid yang menjadi salah satu tempat saya "mengais" takjil gratis. Hehe.

Menyinggung tentang obsesi saya mencari takjil gratis di masjid, saya selalu ingat dengan koleksi cerita saya tentang obsesi ini. Cerita saat saya terjebak macet di jalan sampai akhirnya telat mengantri takjil di Masjid Akbar. Sampai di masjid, jamaah sudah bubar. Akhirnya saya hanya menumpang solat dan memutuskan untuk berbuka di Royal Plaza. Cerita lainnya adalah saat saya tidak tahu cara mengantri takjil di Masjid Asrama Haji. Hasilnya, saya hanya mendapat segelas air putih sambil melongo melihat orang-orang mengantri untuk menukar tiket dengan takjil. Keesokan harinya jelas saya datang lagi dengan bekal "pengetahuan" yang didapat kemarin. Di lain hari pada bulan yang sama saya juga sempat berbuka di sebuah masjid yang tidak sengaja saya kunjungi. Hari itu saya berniat berbuka di sebuah masjid di daerah Klampis atas rekomendasi teman. Namun, karena sampai terdengar adzan magrib saya belum nemu masjidnya juga, mampirlah saya di sebuah masjid kecil di sebuah gang untuk solat maghrib. Eh, malah saya mendapat takjil spesial dari bapak takmir di sana. Terima kasih, Bapak.

Yah, Ramadhan dan pernak-perniknya memang selalu menarik, yang membuat banyak orang merindukannya. Di bulan ini lah kita mendapat banyak berkah. Bulan ini juga yang banyak menguji kesabaran kita sebelum memetik kemenangan pada akhirnya. Selamat datang Ramadhan. Dan, selamat berpuasa! Semoga amal ibadah kita diterima olehNya. Amin Ya Rabb.

"Ramadhan memang banyak menuliskan cerita menarik untuk saya, cerita-cerita yang bisa membuat saya merindukannya"

Sunday, July 7, 2013

Tentang Rumor itu

Beberapa waktu lalu saya sempat makan siang bersama salah satu junior saya semasa kuliah. Sebelumnya saya tak pernah sedekat ini ngobrol dengannya. Selama ini mungkin hanya sekedar say hello atau ngobrol ringan sambil ber-hahahihi. Menurut data yang tersimpan di memori otak saya, adik kelas saya ini adalah seorang gadis yang sangat manja, sombong, egois, dan menyebalkan. Semua opini yang tertanam di pikiran saya itu semuanya saya dapat dari cerita yang banyak beredar di kampus.

Sejak si gadis ini masuk sebagai mahasiswa baru, sudah banyak rumor tak sedap yang bermunculan. Dia yang kata orang telah menjadi "sandungan" salah satu proker di kampus, sering menjadi bahan obrolan publik, yah, termasuk saya. Saya hampir tidak pernah mendengar hal yang baik tentang si gadis. Lama kelamaan rumor-rumor itu tenggelam dengan sendirinya. Time heals. Tapi tetap saja, pandangan saya pada si gadis masih tentang kesombongan dan sifat manjanya. Sampai pada hari itu saya bisa lama ngobrol dengan si gadis, saya jadi sedikit mengenal dia. Di akhir 90 menit saya bersama dia, seketika luntur semua pandangan buruk saya tentangnya. Saya baru menyadari bahwa ternyata dia orang yang baik dan jauh dari sombong. Yah, maafkanlah saya sudah bersu'udzon padamu selama ini.

Saya tidak tahu apakah si gadis sudah berubah atau memang ada yang salah dengan telinga saya selama ini. Kalau saya simpulkan sendiri, mungkin telinga saya yang tak bisa "mendengar" dengan baik. Telinga saya masih belum bisa menyaring apa saja yang masuk ke dalamnya. Kadang hal-hal buruk memang terasa lebih renyah untuk didengarkan, dan sepertinya telinga saya masih sulit menolaknya. Kabar yang jelas-jelas tidak jelas pun saya masih sering percaya. Ckckck.

"Dan yang paling bisa dipercaya adalah indra kita sendiri.."

Tuesday, July 2, 2013

Sempu, I'm in Love

Sejak kecil saya adalah penggemar pantai. Karena belum banyak pantai yang saya kunjungi, sampai sekarang saya masih berkeinginan untuk menyambangi lebih banyak pantai. Saya juga lumayan terobsesi untuk mempunyai sebuah rumah kayu sederhana di tepi pantai. Bahkan kalau sedang sakaw ingin ke pantai, duduk lah saya di tepian kenjeran dengan ditemani secangkir kopi. Yaa..meskipun menurut saya kenjeran sangat jauh dari deskripsi sebuah pantai, tak apalah yang penting saya bisa melihat air laut.

Kalau ditanya di mana pantai favorit saya, yang muncul dalam pikiran saya adalah sebuah pantai tersembunyi di pulau Sempu, Segara anakan. Yap, saya sudah menjatuhkan hati saya di sana sejak pertama kali datang. Saya baru dua kali datang ke Segara Anakan, dan selalu ingin kembali ke sana. Karena hari ini saya kangen sekali dengan pantai di ujung selatan Kabupaten Malang ini, maka saya buat lah postingan ini. Sebenarnya saya sedikit merasa berdosa kalau bercerita tentang Sempu karena pulau ini adalah salah satu kawasan cagar alam yang tidak bisa sembarangan dikunjungi. Namun, anggaplah saya hanya bercerita tentang pengalaman jatuh cinta saya pada pulau ini. Hahaha. Sama saja. Menurut saya pribadi, tak apalah mengunjungi pulau ini kalau hanya sekedar ingin menikmati keindahannya, asal tidak sampai melakukan hal-hal berbau  vandalisme yang bisa membuat pulau ini tidak menarik lagi.
***

Sempu adalah sebuah pulau di Malang selatan yang dapat dicapai dengan menggunakan perahu motor selama 10 menit dari Pantai Sendang Biru. Setelah sampai di Pulau Sempu, untuk mencapai Pantai Segara Anakan masih harus melewati jalan setapak sepanjang 1,5 km di tengah hutan yang hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Saat musim kering, jalan bisa ditempuh dalam waktu 1-2 jam. Namun, akan diperlukan waktu 2 sampai 4 jam lebih lama jika ke sana saat musim hujan, bisa ditambahkan sendiri ya waktu tempuhnya. Waktu pertama kali ke sana bersama teman-teman saya (Mas Didi, Mas Rizki, Ima, Rosita, dan Mas Rudy) di awal tahun 2011, kebetulan di tengah-tengah musim hujan. Alhasil, kami membutuhkan waktu tak kurang dari 5 jam untuk sampai di Segara Anakan. Anggaplah saya berlebihan, tapi pada saat itu memang medannya sangat berat. Jalan di hutan sangat licin karena air hujan di tanah belum mengering. Belum lagi kubangan-kubangan air berwarna coklat yang menyembunyikan akar-akar pohon atau batuan karang di dalamnya. Kalau salah melangkah, bisa-bisa terpeleset atau bahkan terkena batu karang yang tajam di dalam kubangan. Sialnya, saya berkali-kali terpeleset sampai-sampai telapak kaki kanan saya robek kena goresan karang. Sebenarnya bisa si pakai sepatu biar lebih aman, tapi harus sepatu khusus mendaki. Kalau pakai sepatu sneakers biasa seperti saya, nasibnya pasti sama, harus bertelanjang kaki dengan sepatu penuh lumpur menggantung tak berguna. Keadaan tak akan bertambah parah kalau saya menyeberang tidak terlalu sore. Saat itu saya baru menyeberang pukul setengah 5, mau tak mau harus melewati hutan dengan sumber cahaya yang terbatas. Waktu itu kami hanya bawa 4 senter untuk 6 orang. Alhasil kami hanya bisa berjalan pelan-pelan dan memastikan tidak ada teman yang terpisah tanpa berpikir bahwa kami ada dalam hutan yang sama dengan gerombolan harimau yang bisa datang kapan saja. Tapi tenang saja, bertemu dengan harimau di sini adalah kejadian yang sangat langka.

Serius ya, berjalan di tengah hutan dalam kegelapan itu bukan hal yang mudah, menurut saya. Beban di pundak lumayan berat membawa bekal air tawar, tangan dan kaki penuh lumpur, dan tentu saja saya lapar. Perut hanya bisa diganjal dengan roti karena medan tidak memungkinkan untuk membuat makanan bahkan untuk sekedar memasak air. Sepanjang perjalanan saya berkali-kali berpikir, "What am I doing here?". Tapi ya sudahlah, saya sudah sejauh dan sekotor ini. Mau pulang pun rasanya tidak ikhlas.

Hal yang paling menarik dari perjalanan saya ke Segara Anakan adalah saat harus melewati tepian jurang rendah yang berbatasan langsung dengan laut. Sebelum mencapai pantai, saya harus berjalan melipir di jalanan kecil di pinggir laut yang sangat licin sepanjang 50 meter dengan berpegangan pada ranting dan akar pohon di sekitarnya. Kalau lengah sedikit, bisa terpeleset atau bahkan terjatuh. Beruntung jika jatuh langsung ke air, kalau ke batuan karang? Tapi keadaannya tak akan seseram itu kalau kita lewat di siang hari. Paling tidak kita bisa melihat dengan jelas apa yang ada di depan mata dan apa yang sedang kita pijak.

Setelah melewati bibir jurang yang cukup membuat nafas saya kembang kempis, sekitar pukul 10 malam akhirnya saya sampai di pantai untuk pertama kalinya. Perasaannya seperti apa ya, yang jelas saya lega, saya senang, saya lapar, dan saya kotor. Meskipun saya belum bisa melihat pantainya dengan jelas karena gelap, tapi saya sudah jingkrak-jingkrak ndeso hanya dengan mendengar suara ombak. Satu hal yang saya ingat malam itu adalah bintang di langit Sempu jauh lebih banyak daripada di Surabaya atau di rumah saya.

Sesampainya di pantai, kami langsung membangun tenda dan membuat api. Hanya api dari kompor kecil yang menghangatkan kami. Kalau mau bikin api unggun ya silakan, tapi harap bersihkan bekasnya dan bawa kayu bakar sendiri. Bagaimana pun juga, memotong kayu sembarangan di hutan adalah hal yang merusak. Dan lagi, kalau malas membereskan bekas api unggun, dosanya ditanggung sendiri ya.

Tengah malam hujan turun sangat deras sampai subuh. Suara hujan dan gemuruh ombak yang membuat bising malam itu justru seperti meninabobokan saya di atas pasir berlapis terpal yang dingin dan sangat tidak empuk. Perih di telapak kaki sampai tak terasa saking dinginnya. Saya cuma bisa meringkuk dan mengapitkan kedua tangan di ketiak yang hangat. Hahaha. Selang dua jam kemudian, saya terbangun karena baju saya basah kena air hujan. Bagian samping tenda bocor dan langsung merembes ke baju saya. Lumayan lah menambah efek dingin pada tidur saya malam itu.

Menjelang subuh saya terbangun, hanya bisa duduk menghindari air yang semakin banyak mengalir masuk. Setelah hujan mereda, saya keluar tenda untuk mengambil air wudu di laut. Saat itu untuk pertama kalinya saya melihat Segara Anakan tidak dalam keadaan gelap gulita. Saya cuma bisa bilang waw. Air lautnya bening. Pantai ini dan Samudra Hindia hanya dibatasi dengan batuan karang. Di sebelah kiri (maaf saya buta arah) terdapat lubang karang tempat dimana air dari samudra masuk ke laut yang terisolasi ini. Di sekeliling laut hanya ada bukit-bukit karang, tebing, serta hutan di belakang yang sebelumnya sudah saya lewati untuk mencapai pantai ini. Hanya ada warna hijau dan biru di depan mata saya. Tak ada listrik. Tak ada kamar mandi. Sumber air tawar pun sangat jauh dan keruh, terlebih saat musim hujan.

Lubang karang


Dengan naik ke tebing karang yang ada di sebelah kiri, kita bisa melihat Samudra Hindia yang luas dengan ombaknya yang besar. Kalau sedang beruntung bisa melihat gerombolan lumba-lumba berkejaran di laut lepas saat sore. Sayangnya saya kurang beruntung karena harus segera kembali sebelum kemalaman lagi di hutan. Ya...mungkin di kesempatan lain.

Samudra Hindia di balik Segara Anakan

Sebenarnya saya tak rela meninggalkan pantai ini mengingat harus melewati medan yang sama seperti saat berangkat, tapi bekal sudah habis dan saya merasa sangat kotor. Air laut tidak membantu banyak untuk menghilangkan gatal-gatal di badan. Maka pulanglah kami dengan bekal energi hanya dari mie instan. Perjalanan pulang bisa kami tempuh "hanya" dalam 3 jam saja. Cahaya terang memang benar-benar sangat membantu. Tangan kami mulai terampil berpegangan pada ranting pohon. Kaki kami juga sudah telaten untuk memilih tempat berpijak. Tapi yang jelas masih dengan badan yang penuh lumpur.

Eit, tapi lupakan semua cerita saya tentang perjalanan menuju Segara Anakan tadi jika kita ke sana saat musim kemarau. Medannya akan menjadi sangat ramah dan mudah dilewati, tak perlu susah-susah mencari ranting untuk pegangan atau mencari pijakan yang aman. Saat saya mengunjungi Sempu di musim kering, trek yang sama bisa ditempuh hanya dalam waktu 75 menit. Hanya dengan bermodal sendal jepit saya bisa mencapai pantai dengan pakaian masih rapi dan bersih. Tidak ada lagi jalanan yang licin dan mendebarkan. Sama mudahnya dengan berjalan di Tunjungan Plasa dengan bonus sedikit tanjakan dan beberapa pohon yang sudah tumbang di tengah-tengah jalan.

Semua hal yang saya rindukan dari Pulau Sempu, membuat saya selalu ingin kembali lagi ke sana, dengan teman-teman yang menyenangkan, dan tentunya di musim kering. Pantai-pantai di Bali memang sangat indah, tapi pantai ini masih yang paling menarik, menurut saya. Mungkin untuk sebagian orang pantai ini biasa saja, tapi bagi saya yang datang dengan badan penuh lumpur, telapak kaki yang perih, dan perut yang sangat lapar, pantai ini terasa sangat nyaman.


"Saya sangat menyukai pantai tersembunyi ini, karena di tempat ini saya bisa menemui tiga hal yang paling saya sukai: suara ombak di malam hari, sinar matahari yang masuk melalui celah-celah dedaunan, dan gerimis di pagi hari.."

Thursday, June 27, 2013

Happy 23rd Birthday, Rayung!

"Sudah 23 tahun, Yung. Bagaimana rasanya? Ada yang spesial? Hm, mungkin hampir sama denganku, tak ada yang spesial dengan ulang tahun ketiga saat usia berkepala dua ini. Hahaha. Hanya jatah hidup kita yang semakin berkurang, tapi paling tidak di hari ini akan ada banyak doa baik menyertaimu, kan. :)"

Awina Rayungsista


Awina Rayung di usia 23 ini, masih sama seperti Rayung yang pertama saya kenal sepuluh tahun lalu. Masih dengan rambutnya yang pendek, dengan tingkahnya yang tidak tahu malu, dan masih dengan kebiasaannya mengolok-olok dirinya sendiri. Penampilannya yang cuek, tomboi, dan sederhana ini memang sudah melekat sejak SD. Menurutnya itu yang paling nyaman. Kalau sudah menyentuh tentang selera, apapun sudah tidak bisa diperdebatkan.

Rayung adalah teman baik saya sejak SMP. Meskipun bentuknya seperti preman, tapi hatinya sangat baik. Salah satu sifatnya yang paling saya suka adalah keinginan dan kesediaannya yang cukup besar untuk membahagiakan teman dengan makan bersama tanpa harus mengeluarkan uang. Em, atau mungkin saya menyebutnya dengan "hobi menraktir".

Saya belajar banyak dari seorang Rayung, terutama tentang kesederhanaan dan kepedulian. Rayung yang sudah menjadi teman baik saya sejak lama, sedikit banyak telah menularkan sifat-sifatnya pada saya, termasuk kejayusannya. Hahaha. Meskipun banyak hal dari kami yang tidak selaras, tapi sampai saat ini saya masih betah untuk berkawan baik dengannya. Rayung yang sering memberikan saya tumpangan ke sekolah saat SMA, Rayung yang menjadi teman bolos les saya, Rayung yang mau diajak melakukan hal-hal tidak penting, Rayung yang bersedia meminjami saya uang dan barang setiap saat (sudah sadar kah kau Rayung kenapa aku mau berteman denganmu? Hahaha).

Saya ingat jelas catatan-catatan saya tentang seorang Rayung: orang yang sangat menyukai kulit ayam dan durian, orang yang sering menggerutu pada tukang parkir dan supir bemo, orang dengan reflek yang berlebihan, orang yang sangat suka menolong, dan orang yang selalu bisa menjadi dirinya sendiri. Dia satu-satunya kawan yang selalu menegur saya di setiap tindakan saya yang salah. Dia yang bersama-sama saya menggembel di Plaza Surabaya untuk membeli 2 paket Hokben hanya dengan celana pendek dan kaus tidur. Dia yang mempunyai obsesi sama dengan saya untuk mencoba takjil-takjil gratis di banyak masjid di Surabaya. Dia juga yang mau bersama saya berkeliling kota memasuki Indomaret satu per satu hanya untuk mendapatkan sebuah Pulpy Orange yang baru saja di-launching.

Selamat ulang tahun, Rayung. Semoga menjadi anak yang berguna bagi orang tua, bangsa, dan agama. Semoga dilancarkan dalam segala hal. Semoga selalu sehat dan dilindungi oleh-Nya. Semoga bisa mencapai semua cita, menjadi dokter yang mulia, dan memiliki lahan parkir yang sangat luas..

Friday, June 21, 2013

Adelaide Sky

Adhitia sofyan emang jagoan kalau bikin lagu yang menurut saya sederhana, tapi adiktif. Kata laki-laki penggemar krupuk ini, semua lagu-lagunya ditulis di dalam kamar tidurnya. Pantesan lagunya banyak yang galau ya, Mas. Hahaha. Beberapa tahun lalu Adelaide sky ini menjadi salah satu lagu pengantar tidur favorit saya, dan sekarang akan hadir lagi di playlist saya :)


 

Thursday, June 13, 2013

23 Tahun

Semakin lama saya merasa terintimidasi dengan segala komentar orang-orang terdekat saya tentang sifat dan penampilan saya. Saya sudah 23 tahun, dan saya masih suka bermain, nongkrong di malam hari, dan melakukan hal-hal tidak penting untuk usia saya. Saya masih dengan kaus-kaus oblong saya, celana jins, serta dengan sepatu sneakers atau sekedar sandal jepit tipis yang melapisi telapak kaki saya. Saya masih dengan suara tertawa yang tidak lirih dan kadar guyonan yang masih sangat tinggi.

Ibu saya selalu menghela nafas panjang setiap saya memamerkan sepatu kets baru. Ibu selalu menggelengkan kepala setiap saya keluar rumah hanya bercelana pendek dengan atasan kaus kusam. Dan ibu selalu menggerutu setiap saya pulang dengan kulit yang semakin menghitam karena terlalu sering berada di luar saat matahari terik. Di saat-saat tertentu saya sudah mencoba memakai sepatu perempuan pada umumnya, dan hasilnya, pernah kaki saya sampai lecet saat harus mengenakannya seharian, bahkan dengan sepatu yang tidak murah yang kata orang nyaman dipakai. Mungkin anatomi kaki saya tidak seperti perempuan pada umumnya, atau mungkin hati saya yang tidak sepenuhnya rela untuk sekedar mengenakan sepatu wanita. Entahlah, yang pasti saya merasa sangat tidak nyaman dengan sepatu-sepatu itu.

Dengan banyaknya nasehat teman-teman terdekat, sindiran saudara-saudara sepupu, dan tentu saja helaan nafas panjang ibu, sedikit banyak mendorong saya untuk berubah. Saya baru menyadari bahwa mencoba hal baru ternyata tidak selalu menarik. Terlebih saat harus mencoba hal yang tidak kita inginkan. Mungkin hanya butuh sedikit melapangkan hati, menurunkan taraf egoisme, dan menengok sisi positifnya.

 "Banyak yang menganggap bahwa saya malas berubah dan selalu mengabaikan pendapat orang, keras kepala dan tidak pernah mau mencoba. Tapi menurut saya tidak, saya memang keras kepala, tapi saat ini saya sedang mencoba."

Friday, May 24, 2013

Salamun Kawasaki


Tiba-tiba saya ingin menulis sedikit tentang bapak-bapak yang menjadi teman saya ketika saya dan teman sejurusan saya, Tya, kerja praktek di Banyuwangi. Sebenarnya nama beliau hanya Salamun, tapi untuk kepentingan nama di facebook, salah satu rekan Pak Salamun, Pak Ari, menambahkan kata Kawasaki di belakang nama beliau. Kawasaki sendiri diambil dari merk salah satu mesin boiler di pabrik tempat saya kerja praktek. Saya sendiri separuh nggak percaya.
Selama sebulan kerja praktek di sana, Pak Salamun dan Pak Ari lah yang menjadi teman saya dan Tya. Dari sekitar 7 jam kerja, hampir 60%-nya kami habiskan untuk hal yang nggak produktif. Pagi-pagi kami dapat materi dari kabag-kabag di sana, sisanya kami habiskan untuk jalan-jalan di pabrik, foto-foto nggak penting, ngobrol dengan Pak Ari dan Pak Salamun, tiduran di masjid, bahkan pernah sampai tertidur di supermarket Giant depan pabrik. Saking nganggurnya, kami pernah diantar naik ke boiler setinggi 45 meter di belakang pabrik hanya untuk melihat Banyuwangi dari atas dan tentu saja foto-foto. Hehe.
Meskipun dari segi materi ilmu saya nggak mendapat terlalu banyak di sana, tapi saya dan Tya banyak mendapat pelajaran hidup dari Pak Salamun. Ecieee. Saya senang sekali bisa bertemu dengan bapak ini. Bahkan saya sempat kangen waktu beliau ambil cuti 2 hari, hehe. Sifat beliau yang polos dan baik hati ini yang membuat saya sedikit sedih waktu berpamitan untuk kembali ke Surabaya. Serius, bapak ini polos sekali. Saya masih ingat beberapa obrolan ringan kami di sela-sela pekerjaan kami beliau.
Saya     : (sambil buka-buka file komputer kantor) Pak ini lagunya Roma Irama semua ya?
Beliau  : Iya, Mbak, saya fans berat Roma Irama. Saya nggak terlalu suka kalo yang penyanyi-penyanyi band sekarang.
Saya     : Tapi tau Pak band-band sekarang?
Beliau  : Ya dikit. Kayak Ungu, Wali gitu. Kalo di tempat saya itu nggak terlalu suka yang gitu-gitu, lebih suka yang triji. Kan di kampung, Mbak.
Saya     : Lah, itu kok tau Treeji? (sempat terpikir sama boyband punya Tara Budiman yang udah bubar)
Beliau  : La iya, soalnya di kampung, makanya taunya ya lagu triji. Solawatan-solawatan gitu, atau kadang Roma Irama, kalo yang muda-muda gitu nggak suka, Mbak.
Saya     : (masih amat sangat heran) Solawatan? Lagu triji?
Beliau  : Itu triji yang agama-agama maksudnya, Mbak.
Saya     : Itu RELIGI kali, Pak.
(Saya dan Tya cuma ngakak)
Saya     : Semua lagunya Roma ada ya, Pak?
Beliau  : Lengkap, Mbak.
Saya     : Dapet dari mana, Pak?
Beliau  : Dari itu internet diajarin Pak Ari.
Saya     : Wesss... Canggih.. Ajarin donlot dong, Pak.
Beliau  : Itu dibuka aja di empatsaret, terus diketik judulnya.
(Serius, beliau mengeja 4Shared dengan empatsaret)
 Beliau : Tapi saya ada satu lagu yang nggak punya, Mbak. Sudah saya ingat-ingat judulnya dari radio tapi nggak nemu di internet.
Saya     : Judulnya apa, Pak?
Beliau  : Nanamurnana (nggak jelas).
Saya     : Apa, Pak?
Beliau  : Nanamurana (tetep nggak jelas)
Saya     : Coba ditulis di sini nanti saya carikan, Pak (sambil menyodorkan kertas pulpen)
Beliau menulis “katamurgana”.
Saya     : (Saya dan Tya mikir lama...sekali)
FATAMORGANA kali, Pak.

Bapak dua anak ini memang lugu dan sederhana. Saya dan Tya pernah main ke rumah beliau yang letaknya lumayan jauh dari kota. Saya penasaran sama es campur buatan istrinya yang kata beliau enak sampai manajer-manajer di sini suka pesan kalau ada acara di rumah. Bapak ini memang semangat sekali kalau menceritakan istri dan anak-anaknya.

Beliau  : Istri saya jualan es campur di rumah. Karena laris, jadi tetangga-tetangga ikut jualan. Tapi orang batuk-batuk kalo nggak di istri saya (maksudnya es campur tetangga-tetangga beliau nggak pake gula asli). Bapak-bapak manajer di sini juga pesan di istri (saya) kalo ada acara, soalnya es campur (buatan) istri (saya) enak, Mbak. Kalo jualan di rumah pake gula biasa, tapi kalo yang pesan Pak Manajer ya pake Marijan, Mbak.
Saya     : Pake apa, Pak? (memastikan pendengaran saya)
Beliau  : Itu lo.. sirup-sirup buat lebaran, Marijan.
Saya     : MARJAN kali, Pak..

Es campur buatan istri beliau memang enak, saya suka. Di rumah beliau yang sederhana, kami banyak ngobrol tentang anak-anak beliau yang masih kecil. Sangat malu-malu, persis seperti ibunya. Di sana, saya dan Tya sempat diajak menyambangi sawah dan kebun kelapa kecil milik beliau. Saya suka sekali udara di kampung beliau, terasa segar melewati rongga paru-paru saya. Sekarang pun saya masih suka tertawa sendiri kalau ingat beliau. Masih melekat di memori saya bagaimana suara handphone beliau saat ada panggilan masuk, monophonic ringtone dengan volume suara paling keras. Hahaha, saya kangen Bapak, Pak Salamun..

 
ki ke ka: Saya, Pak Salamun, Pak Heru, Tya, Pak Ari

“Bahkan kita bisa belajar banyak dari hal-hal sederhana yang tidak pernah kita duga sebelumya..”