"Del, siang ini makan di sini saja, bareng-bareng," suara Pak Haji Kus mengalihkan perhatian saya dari pesan-pesan WhatsApp yang sedang saya baca. Pak Haji Kus adalah salah satu staf di tempat saya menjalani training di minggu ke-7 ini. Selama 3 hari saya belajar di sebuah gedung arsip berukuran sedang yang terpisah sedikit jauh dari gedung utama tempat saya sehari-hari mempelajari materi. Hari ini saya memutuskan makan siang bersama rekan-rekan saya di gedung arsip, meninggalkan kebiasaan saya makan bersama teman-teman seangkatan seperti sebelumnya.
Hari ini saya beruntung mendapat sebungkus nasi ayam bakar Padang gratis. Perut yang sudah lapar membuat saya tidak sempat basa-basi untuk menolak rejeki siang ini. Segera saya ke dapur mengambil piring, sendok, dan segelas penuh air putih, kemudian bergabung dengan yang lain di ruang tengah. Di ruangan 3x4 m yang dingin itu sudah berkumpul Pak Anton serta kakak-kakak pegawai outsourcing yang biasa mengangkut puluhan kardus arsip di gedung ini. Tinggal menunggu Pak Haji. Saya menatap satu per satu bungkusan nasi di atas meja yang sudah siap disantap. Eit, tidak ada piring dan sendok di atas meja, hanya ada satu, yaitu piring dan sendok yang tadi saya bawa. Yang lainnya cukup dengan hanya membasahi tangan di air mengalir. Pak Haji datang dan serempak kami membuka bungkusan nasi masing-masing. Hm, nasi putih yang masih hangat, ayam bakar bumbu Padang, sayur nangka, dan sebungkus kecil sambal cabai ijo, membuat perut saya semakin lapar. Tanpa komando kami segera melahap nasi porsi jumbo di hadapan kami. Kakak-kakak di sana tampak mulai berkeringat karena rasa pedas sambal yang bercampur nasi hangat. Saya tidak terlalu suka makanan pedas, tapi melihat kakak-kakak itu makan, membuat saya semakin berselera. Kali ini saya makan banyak sambal, membuat mata saya sedikit berair karena tidak tahan menahan pedas. Ya, di sini kami makan sesuka kami, dengan lauk seadanya, dengan nasi porsi besar, dan dengan suasana yang akrab. Sembari makan kami banyak mengobrol. Membicarakan tentang apa saja. Tentang memancing, tentang makanan-makanan enak yang murah, tentang lelucon-lelucon orang Palembang, tentang bahasa Palembang saya yang masih acak-acakan, tentang saya yang akan disembelih di lebaran haji besok, dan banyak hal. Dengan suara yang lantang, dengan perut yang semakin kenyang, dengan celotehan dan gerakan-gerakan bodoh kami yang membuat saya tidak berhenti tertawa, siang ini saya makan dengan lahap. Tanpa ada beban. Tanpa sungkan.
"Bu Adel, saya nak begawe dulu, barang-barang sudah menunggu", Kak Arifin menggoda saya dengan panggilan "Bu". Saya hanya tertawa dan membalas, "monggo, Om", dilanjutkan dengan tawa seluruh ruangan yang kemudian mengakhiri obrolan kami siang itu.
Mau seperti apa manusia, pasti selalu memikul beban. Entah itu sangat ringan atau berat, hanya kita yang merasakan. Tidak ada parameter yang jelas. Sama seperti bagaimana kita bersyukur, tidak akan pernah ada tolok ukurnya. Yang harus saya garis bawahi, bersyukur itu juga berlaku untuk hal-hal kecil, yang selama ini sering terabai oleh saya.
"Mungkin leher saya sudah terlalu lama mendongak ke atas, ketika saya menengok ke bawah, tiba-tiba pundak ini terasa lebih ringan"
No comments:
Post a Comment