Thursday, February 6, 2014

Memilih untuk Berlogika atau Berperasaan

Saya pernah mendengar tentang Alexithymia, sebuah gangguan psikologis dimana seseorang menggunakan porsi logika jauh di atas perasaaannya. Orang dengan Alexithymia ini akan cenderung tidak bersahabat, tidak sentimentil, dan terlalu logis. Sebenarnya seseorang tidak bisa dikatakan secara mutlak menderita Alexithymia karena porsi penggunaan logika setiap orang berbeda. Orang-orang dengan Alexithymia akan selalu mengatasnamakan logika dan prinsip dalam menghadapi masalah. Well, sebuah masalah memang biasanya akan lebih mudah diselesaikan jika menggunakan logika. Namun, saya tidak yakin apakah solusi tersebut adalah yang paling baik, terlebih jika menyangkut hubungan manusia.


Dalam proporsi penderita Alexithymia, populasi pria lebih banyak dibandingkan wanita. Sangat bisa ditebak, dari banyaknya wanita yang lebih sering menangis di bioskop selama menonton film drama, dan dari banyaknya wanita yang memenuhi playlist mereka dengan lagu-lagu berinstrumental melo. Jika di malam hari seorang suami memikirkan bagaimana seekor nyamuk bisa menemukan kulit manusia di kegelapan, si istri lebih memilih untuk melamunkan hal-hal indah yang sudah terlewati hari ini. Ketika para pria sibuk menyelamatkan barang-barang dari rumah yang terbakar, para wanita lebih banyak terduduk lemas dan menangis memandangi rumah yang terbakar. Memang para pria ditakdirkan untuk lebih banyak menggunakan logikanya dibandingkan wanita.


Logika dan perasaan banyak dikenal sebagai dua kutub yang berlawanan. Dan ternyata memang benar. Sebuah studi baru dalam Neurolmage mengungkapkan bahwa logika dan empati menggunakan jalur saraf terpisah yang bekerja secara bergantian. Seseorang tidak bisa menggunakan logika dan empatinya secara bersamaan. Bila saraf empati sedang sibuk, saraf untuk analisa akan ditekan, dan ini beralih sesuai dengan tindakan yang sedang dilakukan. Jadi, wajar kalau laki-laki menangis setelah selesai menyelamatkan barang-barang dari rumah yang terbakar dan wanita mulai membantu membereskan barang dengan sedikit senggukan tangis yang masih tersisa.
***


Saya sendiri berharap saya bukan orang dengan Alexithymia, meskipun banyak orang menuduh saya terlalu mengedepankan logika. Bagi saya, logika adalah salah satu cara yang ampuh untuk bersikap adil. Seorang hakim harus selalu mendahulukan logika saat memutuskan hukuman kepada seorang pencuri yang mengaku menjadi tulang punggung keluarga di tengah kesulitan menyambung hidup. Memang tampak menyakitkan, dan terkesan seperti berhati batu. Namun, itu fair, menurut saya. Saya bisa menahan untuk tidak membeli koran pada seorang nenek tua renta yang biasa berjualan di lampu merah. Bukan, bukan berarti saya tidak kasihan. Saya sering melihat banyak pengendara mobil atau motor membeli koran dengan memberi uang lebih pada nenek itu. Di seberang jalan, anak perempuan si nenek yang nampak masih bugar, sedang menunggui si nenek ”bekerja”. Bisa disimpulkan sendiri bagaimana kondisinya. Memberi sedekah memang hak masing-masing orang, tapi saya mencoba melihat nilai yang bisa bertunas: keluarga semakin malas mencari nafkah, hanya mengandalkan nenek yang sedang memanfaatkan belas kasihan orang-orang. Di luar sana masih ada banyak sekali yang juga membutuhkan, menurut saya.


Saya tidak sepenuhnya mengangkat tinggi-tinggi logika dan mengubur empati. Saya hanya berusaha bersikap adil untuk meminimalisasi adanya pihak yang terdzolimi. Bukan berarti saya tidak berperasaan kalau saya tidak menyukai lagu mendayu-dayu cengeng yang melulu tentang patah hati. Toh, saya masih menyukai lagu-lagu berirama sederhana dengan lirik yang tidak biasa. Namun, saya memang merasa sangat nyaman dengan memutar musik yang lebih bersemangat di sela-sela aktivitas saya bersama teman-teman.


Ibu saya pernah mengeluh karena merasa saya sangat keras kepala dan egois. Tidak ada maksud lain, saya hanya ingin semua masalah selesai tanpa harus ada yang dipendam. Saya tahu ada yang merasa tersakiti, tapi sakit itu akan berganti dengan perasaan lega. Saya lebih memilih untuk sakit tetapi sangat lega daripada harus menyimpan lama sampai membusuk di dalam hati. Bukan berarti saya tidak peduli pada ayah ibu ketika saya menjadi satu-satunya orang yang tidak menangis di ruangan saat ada masalah pelik keluarga. Saya hanya mencoba untuk selalu berpikir realistis. Saya tidak suka terjebak dalam suasana sedih atau pun haru berlebihan. Saya lebih suka berada dalam suasana hangat yang banyak memacu endorfin. Saya memang terlalu keras dan tidak peduli, tapi, dalam batas mampu saya, saya ingin sedapat mungkin berbuat apapun hingga melebihi batas logika, demi orang tua saya.




*tulisan ini saya buat karena ayah saya, yang pernah sakit hati akibat sikap dan perkataan saya yang terlalu mendewakan logika. Jika adik saya berkata hati saya sekeras batu, mengapa ulu hati saya terasa begitu ngilu saat mendengar pengakuan adik tentang ayah saya yang sakit hati. Tidak pernah bisa ditarik sebuah benang merah bahwa saya berhati batu hanya karena saya tidak mau menangis di depan ayah saya.