Saya
pernah mendengar tentang Alexithymia, sebuah gangguan psikologis
dimana seseorang menggunakan porsi logika jauh di atas
perasaaannya. Orang dengan Alexithymia ini akan cenderung tidak
bersahabat, tidak sentimentil, dan terlalu logis. Sebenarnya
seseorang tidak bisa dikatakan secara mutlak menderita Alexithymia
karena porsi penggunaan logika setiap orang berbeda. Orang-orang
dengan Alexithymia akan selalu mengatasnamakan logika dan prinsip
dalam menghadapi masalah. Well,
sebuah masalah memang biasanya akan lebih mudah diselesaikan jika
menggunakan logika. Namun, saya tidak yakin apakah solusi tersebut
adalah yang paling baik, terlebih jika menyangkut hubungan manusia.
Dalam
proporsi penderita Alexithymia, populasi pria lebih banyak
dibandingkan wanita. Sangat bisa ditebak, dari banyaknya wanita yang
lebih sering menangis di bioskop selama menonton film drama, dan dari
banyaknya wanita yang memenuhi playlist
mereka dengan lagu-lagu
berinstrumental melo. Jika di malam hari seorang suami memikirkan bagaimana seekor nyamuk bisa menemukan kulit manusia di kegelapan, si istri lebih memilih untuk melamunkan hal-hal indah
yang sudah terlewati hari ini. Ketika para pria sibuk menyelamatkan
barang-barang dari rumah yang terbakar, para wanita lebih banyak
terduduk lemas dan menangis memandangi rumah yang terbakar. Memang
para pria ditakdirkan untuk lebih banyak menggunakan logikanya
dibandingkan wanita.
Logika
dan perasaan banyak dikenal sebagai dua kutub yang berlawanan. Dan
ternyata memang benar. Sebuah studi baru dalam Neurolmage mengungkapkan bahwa logika dan empati menggunakan jalur saraf terpisah yang bekerja secara bergantian. Seseorang tidak bisa menggunakan logika
dan empatinya secara bersamaan. Bila saraf empati sedang sibuk, saraf
untuk analisa akan ditekan, dan ini beralih sesuai dengan tindakan
yang sedang dilakukan. Jadi, wajar kalau laki-laki menangis setelah
selesai menyelamatkan barang-barang dari rumah yang terbakar dan
wanita mulai membantu membereskan barang dengan sedikit senggukan
tangis yang masih tersisa.
***Saya sendiri berharap saya bukan orang dengan Alexithymia, meskipun banyak orang menuduh saya terlalu mengedepankan logika. Bagi saya, logika adalah salah satu cara yang ampuh untuk bersikap adil. Seorang hakim harus selalu mendahulukan logika saat memutuskan hukuman kepada seorang pencuri yang mengaku menjadi tulang punggung keluarga di tengah kesulitan menyambung hidup. Memang tampak menyakitkan, dan terkesan seperti berhati batu. Namun, itu fair, menurut saya. Saya bisa menahan untuk tidak membeli koran pada seorang nenek tua renta yang biasa berjualan di lampu merah. Bukan, bukan berarti saya tidak kasihan. Saya sering melihat banyak pengendara mobil atau motor membeli koran dengan memberi uang lebih pada nenek itu. Di seberang jalan, anak perempuan si nenek yang nampak masih bugar, sedang menunggui si nenek ”bekerja”. Bisa disimpulkan sendiri bagaimana kondisinya. Memberi sedekah memang hak masing-masing orang, tapi saya mencoba melihat nilai yang bisa bertunas: keluarga semakin malas mencari nafkah, hanya mengandalkan nenek yang sedang memanfaatkan belas kasihan orang-orang. Di luar sana masih ada banyak sekali yang juga membutuhkan, menurut saya.
Saya
tidak sepenuhnya mengangkat tinggi-tinggi logika dan mengubur empati.
Saya hanya berusaha bersikap adil untuk meminimalisasi adanya pihak
yang terdzolimi. Bukan berarti saya tidak berperasaan kalau saya
tidak menyukai lagu mendayu-dayu cengeng yang melulu tentang patah
hati. Toh, saya masih menyukai lagu-lagu berirama sederhana dengan
lirik yang tidak biasa. Namun, saya memang merasa sangat nyaman
dengan memutar musik yang lebih bersemangat di sela-sela aktivitas
saya bersama teman-teman.
Ibu
saya pernah mengeluh karena merasa saya sangat keras kepala dan
egois. Tidak ada maksud lain, saya hanya ingin semua masalah selesai
tanpa harus ada yang dipendam. Saya tahu ada yang merasa tersakiti,
tapi sakit itu akan berganti dengan perasaan lega. Saya lebih memilih
untuk sakit tetapi sangat lega daripada harus menyimpan lama sampai
membusuk di dalam hati. Bukan berarti saya tidak peduli pada ayah ibu
ketika saya menjadi satu-satunya orang yang tidak menangis di ruangan
saat ada masalah pelik keluarga. Saya hanya mencoba untuk selalu
berpikir realistis. Saya tidak suka terjebak dalam suasana sedih atau pun haru berlebihan. Saya lebih suka berada dalam suasana hangat yang banyak memacu endorfin. Saya memang terlalu keras dan tidak peduli, tapi, dalam batas mampu saya, saya ingin sedapat mungkin berbuat apapun hingga melebihi batas logika, demi orang tua saya.
*tulisan
ini saya buat karena ayah saya, yang pernah sakit hati akibat sikap
dan perkataan saya yang terlalu mendewakan logika. Jika adik saya
berkata hati saya sekeras batu, mengapa ulu hati saya terasa begitu ngilu saat mendengar pengakuan adik tentang ayah saya yang sakit
hati. Tidak pernah bisa ditarik sebuah benang merah bahwa saya
berhati batu hanya karena saya tidak mau menangis di depan ayah saya.