Friday, November 15, 2013

Sebuah Blog dan Penulisnya (Hifatlobrain)

Beberapa tahun yang lalu, saat saya masih menjadi mahasiswa baru, saya sempat mengikuti sebuah acara yang diadakan himpunan mahasiswa kampus dimana Mas Ayos Purwoaji menjadi salah satu pembicaranya. Mas Ayos adalah seorang penulis perjalanan sekaligus fotografer yang sibuk dengan aktivitasnya menikmati hidup. Di dalam kelas tempat digelarnya sharing session itu, Mas Ayos sedikit banyak membagikan pengalaman-pengalamannya menjadi seorang fotografer. Ketimbang menjelaskan teori-teori fotografi, saya melihat dia lebih banyak melawak dalam sesi berdurasi 2 jam tersebut. Bukan berarti mas-mas ini minim ilmu ya, memang gaya bicaranya saja yang seperti orang tanpa dosa. Ringan, komunikatif, dan menarik. Bahkan seakan dia mau mengesampingkan "harga diri" asal semua bisa mengerti dan menikmati materi yang dibawakannya. Sejak saat itu saya memutuskan untuk mengagumi mas-mas berambut minimalis ini. Ya, karena mengagumi orang tampan dan pintar sepertinya sudah sangat mainstream. Hahaha.

Setelah tahu kalau ternyata mas Ayos punya sebuah blog, segera lah saya googling blognya. Saat itu yang ada di bayangan saya adalah blog-blog sesat seperti milik Raditya Dika dan sejenisnya yang banyak menonjolkan ke-absurd-an pemiliknya. Dan ternyata saya salah. Blog milik Mas Ayos yang bertajuk Hifatlobrain ini tidak sebodoh namanya, blog laiknya milik orang normal pada umumnya. Hifatlobrain adalah kumpulan catatan perjalanan yang lebih menonjolkan pengalaman perjalanan, tidak sebatas mengulas wujud destinasi-destinasi wisata populer seperti yang sekarang banyak ada. Dalam blognya lebih banyak dibahas sisi lain dari sebuah perjalanan. Ya, saya sangat setuju, karena inti dari sebuah perjalanan adalah perjalanan itu sendiri. Bahkan suatu destinasi yang biasa bisa menjadi sangat menarik jika memiliki kisah di balik perjalanannya.

Bagi seorang anak manja yang nirpengalaman seperti saya, membaca kisah perjalanan ala Mas Ayos menjadi hal yang berbeda, hal yang bisa membuat saya berkali-kali menganggukkan kepala di setiap rentetan kalimatnya. Saya suka gaya bahasanya yang renyah, tapi tetap tidak meninggalkan detil-detil yang menarik. Mas Ayos bercerita dengan sudut pandang anak jalanannya, bukan dengan menepuk dada. Hasilnya tidak seperti tulisan-tulisan wisata yang jumawa dengan pamer destinasi dan kenyamanan perjalanan lalu berujung dengan unggahan foto-foto narsis di media sosial.

Selain deretan tulisan yang sukses membuat saya betah duduk lama di depan laptop, saya juga disuguhi banyak foto ciamik milik Mas Ayos. Untuk saya yang masih awam dengan dunia kamera, hasil bidikannya cukup membuat saya menelan ludah ingin belajar fotografi. Dengan caption sederhana, foto-foto Mas Ayos lebih banyak bercerita. Kemudian, membuat saya semakin betah menjadi seorang autis yang bisa berjam-jam membuka halaman blog yang sama.

Sekali lagi, saya suka gaya Mas Ayos. Saya masih mengagumi paket komplitnya. Mulai dari blog dimana dia bisa menyimpan dengan rapi kekacauannya, selera perjalanannya, hasil-hasil jepretannya, sampai gaya hahahihi-nya. Walaupun saya tahu si mas-mas ini kadang agak "sesat", saya tetap suka. Karena, kadang kita menemukan kebahagian saat kita "tersesat". No offense ya, Mas :)

Monday, November 11, 2013

Karena Bahagia itu (memang) Sederhana

"Bersepeda itu seperti berlari, tetapi lebih cepat. Menyenangkan. Saya bisa merasakan angin yang menyentuh kulit saya yang sedang berkeringat. Belum jelas bagaimana kaitannya, yang jelas saya suka."

Di pagi hari
Dengan tas ransel di punggung, saya mengayuh sepeda menerobos deretan mobil yang berjalan merayap memenuhi jalanan pagi hari, melewati jalanan kampus yang rindang, melaju perlahan di tepian danau kecil, dan mengayuh dengan hati-hati menghindari jalan paving kampus yang mulai rusak.

Di tengah hari
Di bawah sinar matahari yang membuat wajah saya semakin gelap, dengan keringat yang mulai mengalir, dan masih dengan tas ransel yang melekat di punggung, saya mengayuh sepeda dengan cepat menyusuri jalanan sekitaran kampus yang ramai.

Di sore hari
Dengan beban di pundak yang terasa lebih berat, saya melambatkan laju sepeda mengelilingi area kampus, sambil mencari penjual kudapan di sekitaran masjid, untuk mengganjal perut saya yang selalu lapar.

Di Palembang saya belum punya sepeda. Sepertinya sudah saatnya saya mengencangkan ikat pinggang dan mulai menabung untuk membeli sebuah sepeda :)