Tuesday, December 23, 2014

Hi, December!

Menyebut Desember, apalagi kalau bukan tentang hujan. Terjebak hujan di toko pinggir jalan, tertidur dengan suara hujan, hingga berjalan berjingkat menghindari genangan air bekas hujan tadi malam.

Malam ini seperti otomatis saya memutar lagu "Desember" milik Efek Rumah Kaca, dengan backsound suara hujan. Ah, belum sampai di akhir lagu, saya sudah tertidur pulas.

Selalu ada yang bernyanyi dan berelegi
Dibalik awan hitam
Smoga ada yang menerangi sisi gelap ini,
Menanti..
Seperti pelangi setia menunggu hujan reda
Aku selalu suka sehabis hujan di bulan
desember,
Di bulan desember
Sampai nanti ketika hujan tak lagi
Meneteskan duka meretas luka
Sampai hujan memulihkan luka

Monday, December 1, 2014

Lagu Wajib Pengantar Tidur

Sejak lagu ini dikirim oleh teman dekat saya melalui pesan Whatsapp beberapa hari yang lalu, sejak itu juga playlist saya menjadi monoton hanya berisi lagu ini saja. Hahaha.

Lalu mataku merasa malu
Semakin dalam ia malu kali ini
Kadang juga ia takut
Tatkala harus berpapasan ditengah
pelariannya
Di malam hari
Menuju pagi
Sedikit cemas
Banyak rindunya

Untuk Perempuan yang sedang dalam Pelukan - Payung Teduh

Saturday, October 18, 2014

Petrichor

13.29
Setelah sangat lama, akhirnya hujan turun. Yeah. Saya suka sekali aroma tanah kering yang beradu dengan air hujan. Seperti menutup dahaga yang sudah terlalu panjang. Segar.

Hari ini, saat saya tengah asyik dengan kudapan-kudapan siang, rumah kontrakan saya diguyur hujan. Deras. Hujan yang sudah kami tunggu untuk membersihkan udara kami, yang akhir-akhir ini lebih akrab dengan kabut asap dan debu jalanan.

Sebentar lagi, rumput liar di halaman depan akan memanjang, menyaingi rumput di samping rumah yang 3 bulan ini terairi oleh kran kami yang bocor.
Sebentar lagi, pohon meranggas milik tetangga depan rumah akan menghijau kembali.
Dan, sebentar lagi, jalan berpaving di depan rumah akan lebih ramah tanpa debu jalanan.

Selamat datang, sore hari yang segar.

*Kalau membaca tulisan ini, teman dekat saya, Gussita, pasti akan mengolok-olok kalimat terakhir saya. Tapi saya yakin, kalau dia ada di sini, pasti akan keluar kalimat-kalimat lebih alay dan tidak berguna dari dia.

Sunday, October 12, 2014

Seperti Sakit

Saya      : Bu Guru, hati saya sekeras batu. Itu membuat saya sakit.
Bu Guru : Belajarlah untuk meluluhkan hati.
Saya      : Saya sombong, Bu.
Bu Guru : Belajarlah untuk merendahkan hati.
Saya      : Sulit sekali, Bu Guru.
Bu Guru : Mulailah belajar, karena kamu tidak akan pernah bisa jika tidak belajar.

Saya berdoa, "Ya Allah, sembuhkanlah sakit ini. Penyakit ini sangat menyakitkan.."

Friday, September 19, 2014

Dia dan Saya

Dia gemar sekali makan sayur. Dia selalu menerima dengan sukarela bawang dan sayur dari piring makan saya.

Dia yang mengenalkan saya pada sepeda dan kereta api. Tapi dia pelit, tidak pernah mau mengajari saya bermain catur.

Sampai sekarang, dia tidak pernah lepas dari sapu tangan di saku bajunya, sapu tangan tipis bermotif kotak-kotak.

Dia selalu bertahan dengan leluconnya yang berulang-ulang. Seringkali saya dapat dengan mudah menebak akhir leluconnya.

Dulu dia suka memotret saya, setiap saya tertawa dengan mata yang hanya nampak segaris.

Dia, yang punya mata sipit, sama seperti saya.
Dia, yang semakin hari semakin mengurus.
Dia, adalah ayah saya.
Ayah saya bukan yang tanpa cela, tetapi beliau adalah kombinasi ayah dan teman yang paling sesuai untuk saya.

Ayah sayang, cepat sembuh ya, gemuklah lagi, kita bersepeda lagi seperti dulu, lalu kita berenang. Aku sudah pandai berenang, tidak akan kalah lagi seperti saat masih kecil. 

Ayah, makanlah yang banyak, agar selalu sehat, lalu kita makan berdua di warung soto kecil favorit kita di pinggiran Jalan Raden Wijaya, sambil bercerita tentang rumah di masa depan.

Tuesday, September 9, 2014

Rumah

Sore lalu, saya mencoba membuat oseng kangkung seperti yang biasa dimasak oleh ibu saya. Bentuk dan warnanya hampir sama. Hanya saja rasanya sedikit berbeda. Hm, mungkin kurang garam. 

Lalu saya mencoba membuat pisang goreng. Meletakkan sepiring pisang goreng hangat di lantai untuk dimakan bersama. Di depan tivi, dengan topik bahasan seputar kucing, makanan, dan tetangga sebelah. Menduplikasi apa yang biasa saya lakukan di rumah bersama adik. Sepiring pisang goreng hangat, sukses mengganjal perut saya yang belum terisi sejak siang. Tapi seperti sedikit pahit, mungkin pisangnya terlalu masak.

Saya mencoba duduk di ruang tengah, di samping teman dekat saya. Kemudian saya banyak bercerita tentang mimpi dan masa lalu, sama seperti cerita saya pada ayah. Saya banyak bicara, si kawan masih terus menyimak. Kami terbahak, lalu selesai. Saya seperti kehabisan cerita. Hm, mungkin ada yang terlewat dari cerita saya.

Saya berada di dalam tempat dengan pintu kayu yang sama, jendela kaca yang serupa, dan lantai yang sama dinginnya. Bahkan saya memasang hiasan dinding yang sama dengan di rumah. Apa yang masih kurang? Mungkin saya belum mendapat aroma rumah. Lalu saya mengganti pewangi ruangan dengan wangi kesukaan ibu saya. Belum berhasil. Saya menyerah.

Saya mencoba menjawab teka-teki lain tentang teras rumah, kudapan sore, dan rumput basah di halaman. Saya berpura-pura tidak tahu dan mulai mencoba untuk tidur. Berharap besok pagi saya bangun dan menemui bahwa saya sudah menamai tempat ini, Rumah.

"Kalau hati mulai sering meracau tidak jelas, emosi mulai mudah tersulut, dan perasaan tenang mulai jarang menghampiri, sepertinya sudah saatnya untuk pulang.."

Thursday, August 14, 2014

Sebuah Kotak Berisi Cerita

"Kun, foto, Kun!" teriak saya sambil memasang pasak tenda. Seketika Niken menghujani saya dengan kilatan lampu kameranya, menjepret setiap sudut peristiwa yang sepertinya sulit kami ingat satu per satu. Berharap foto-foto itu bisa menjadi topik bahasan manis saat kami berkumpul 20 atau 30 tahun lagi.

Hari sudah menjelang magrib saat rombongan kami sampai di tepi pantai. Alhasil kami harus mendirikan tenda dalam kondisi nircahaya. Dalam waktu cukup singkat, dua tenda dome ukuran kecil sudah berdiri di depan kami. Perut yang lapar memang menjadi motivator ampuh untuk bekerja lebih cepat.

Jadi, topik liburan kali ini adalah tentang kawan SMA. Lupakan soal sampah yang banyak berserakan di pasir. Abaikan bahwa ada senja di tepi laut yang terlewatkan. Yang saya ingat, ikan bakar Helpi enak sekali. Membodohi perut saya agar tidak sakit setelah hanya diganjal semangkuk bakso tawar siang tadi.

Menyebalkan memang, tidak bisa berlama-lama bermain pasir karena harus kembali ke kota lebih awal. Terlebih hujan yang terus turun sepanjang malam sampai pagi, membuat kami harus puas berdiam diri di dalam tenda dan di bawah atap jerami saja. Beruntungnya, kami masih sempat membawa pulang cerita-cerita lucu yang wajib kami bahas setahun lagi di rumah Helpi. Cerita tentang balada kacang dan tahu di perempatan jalan. Cerita tentang KTP dan bakso dari ibu pemilik sewa tenda. Sampai cerita tentang rombongan remaja yang mabuk-mabukan di atas mobil bak terbuka sepanjang perjalanan berangkat dan pulang, lengkap dengan lagu Oplosan dan lagu Adele versi dangdut koplo.

Saya masih menyisakan banyak tempat dalam kotak untuk menyimpan cerita-cerita berikutnya. Masih dengan suara Berinda yang membuat telinga pekak, dengan gosip-gosip terbaru dari Niken, dengan cemoohan-cemoohan yang terus dilontarkan Rayung, dan tentu dengan makanan-makanan enak buatan Helpi. Kami sudah mencentang taman hiburan, air terjun, dan pantai dalam daftar tahunan kami. Danau dan gunung sepertinya menarik untuk tahun depan. Yuk!

31 Juli - 1 Agustus 2014, sebuah liburan yang biasa. Karena "istimewa" sepertinya kini sudah menjadi hal yang biasa..

Monday, June 30, 2014

Selamat pagi, Pagi!

Bantu saya untuk menyugesti diri sendiri. Mengapa pagi menjadi tidak semenarik dulu. Saya sudah tidak lagi tergoda dengan udara pagi. Bahkan saya tidak lagi melirikkan mata ke arah timur setiap saya bangun dan bersiap untuk beraktivitas. Rumah kontrakan saya kurang ramah dengan pagi, lebih sering membuat saya malas-malasan di kasur daripada berjalan keluar mengisi ulang paru-paru dengan udara rendah polusi.

"Mbak Mimin, masih ingat tidak, setiap kita membuka pintu lab di lantai 3 kampus di pagi hari, tidak ada yang menarik selain suara berisik burung-burung yang berkicau di atas pohon. Rasanya menyebalkan bukan, tidak bisa merasakan lagi skenario pagi yang satu itu?"

"Mbak Mita, masih ingat rasanya keluar tenda di pagi hari di tepian laut? Ah, Mbak Mita pasti tidak pernah lupa. Itu skenario pagi yang membuat aku malas kembali ke rutinitas kuliah. Pasir pantai itu antagonis, Mbak. Membuat aku malas beraktivitas. Tidak produktif."

"Rayung, aku yakin suasana fajar di tepi pantai dengan latar perahu nelayan itu tidak mudah terhapus dari ingatan. Langit yang masih merah. Aku suka. Menarik, bukan? Atau kau lebih suka skenario pagi di pasar seni Bali? Berjalan melihat-lihat barang kerajinan yang dijual dengan harga murah. Kalau memang sudah tidak ada lagi skenario pagi yang menarik, kita masih punya simpanan skenario siang yang asyik. Yuk, Yung, kita bertemu di Taman Sulawesi, untuk menikmati siang yang manis, sembari makan eskrim murah Paddle Pop."


Monday, May 26, 2014

Sebuah Pertanyaan di Sore Hari

Kata orang saya sering memberikan kritik yang pedas, atau semacam kata-kata yang tidak manis. Sepertinya begitu. Namun, bukan berarti saya selalu menilai buruk. Toh, kalau memang bagus, saya tidak pernah ragu untuk mengacungkan kedua jempol. 

Di siang hari yang biasa ini, saya melihat seorang kawan menunjukkan kelebihannya di hadapan saya dan kawan-kawan yang lain. Kelebihan yang saya yakin tidak sembarang orang punya. Kelebihan yang membuat saya mengangkat topi. Sendiri. Rupanya orang-orang di depan saya ini memilih untuk bersikap naif, merasa tidak ada yang layak diapresiasi. Bahkan tidak untuk sebatas menyematkan sedikit pujian. Karena menurut saya, memberi apresiasi pada seseorang tidak semena-mena akan menjatuhkan harga diri saya. Kalau memang mengesankan, saya rela berdiri dengan tepukan tangan yang keras, setidaknya untuk sekedar memberi penghargaan kecil. Paling tidak, dengan itu saya tidak menutup mata bahwa masih banyak orang hebat di luar sana. Menampar diri saya sendiri yang hanya berkutat itu-itu saja.

Kenapa di saat ada yang buruk, kritikan pedas datang bertubi-tubi, atas nama saran dan kepedulian. Tapi saat ada yang baik, seperti menutup mata, menganggap biasa. Yah, itu urusan masing-masing orang. Daripada saya berpikir macam-macam, lebih baik saya pulang

Di atas kasur saya yang rendah, saya merebahkan punggung. Samar-samar terdengar lagu milik Tim McGraw dari pemutar musik saya. Dan hanya dalam sepenggalan bait lagu, saya pun tertidur. Menggantungkan begitu saja pertanyaan saya sore hari ini. Nanti juga lupa.

"The highway won't hold you tonight
The highway don't know you're alive
The highway don't care if you're all alone
But I do, I do.."

Thursday, April 24, 2014

Batu dan Air

Malam hari di tahun 2013, di akhir musim penghujan. Hanya ada saya dan Ibu.

Saya : Tidak selalu di balik gunung, Ibu, bisa di pesisir pantai.
Ibu    : Iya..
Saya : Kalau hanya sekedar sinyal telepon, jaman sekarang sudah banyak yang bisa menembus daerah terpencil.
Ibu    : Iya..
Saya : Listrik tidak sesulit yang dibayangkan, Bu.
Ibu    : (hanya mengangguk)
Saya : Bolehkah?
Ibu    : Maaf, Kak. Tidak.
Saya : Hanya satu tahun, Ibu. Setelah itu aku akan kembali ke rumah, dengan banyak sekali cerita yang menurutku akan menarik.
Ibu    : Masih banyak hal menarik selain disana, Kak.
Saya : Aku tidak masalah dengan hidup seperti itu, Bu. Aku akan bertahan.
Ibu    : (dengan suara lirih dan bergetar, saya hampir tidak bisa mendengarnya) Ibu yakin Kakak akan bertahan. Tapi Ibu tidak yakin apakah Ibu bisa bertahan, jika akhirnya Kakak masih berkeras pergi.

Lidah saya beku. Seperti ingin memaki diri saya sendiri. Ternyata saya terlampau egois.

Thursday, April 10, 2014

Teruntuk Sang 'Backpacker'

Kini, istilah backpacker menjadi sangat populer. Banyak orang yang menasbihkan dirinya sebagai seorang backpacker. Saya sendiri masih sulit mengklasifikasikan antara traveler dan backpacker. Ada yang mengaku sebagai backpacker tapi tidak suka berjalan tanpa itinerary yang jelas. Berlabel backpacking, tapi cerewet soal penginapan. Lalu, apa bedanya dengan traveler pada umumnya? Karena menurut saya, backpacking bukan hanya sekedar tentang memanggul tas punggung yang besar, tetapi juga bagaimana cara seseorang menikmati perjalanannya, bersikap dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Anggaplah itu pemahaman pendek saya sebagai seseorang yang mengagumi para backpacker.

Saya sedikit kesal dengan para backpacker (jadi-jadian) yang masih saja membuang sampah sembarangan, masih membuat tulisan-tulisan vandalisme, dan masih merusak tumbuhan di hutan. Alasannya cukup mengesalkan, kami hanya penikmat alam, bukan pecinta alam. Hei, apa kabar dengan anak cucu kita nanti? Saya yang bukan seorang backpacker atau pun pecinta alam, masih sempat berfikir bahwa generasi berikutnya punya hak yang sama untuk menikmati beningnya laut dan segarnya udara gunung. Maka, teruntuk para penikmat alam, kasihanilah alam kita ini, setidaknya untuk anak cucu anda sendiri.

Tuesday, April 8, 2014

Salam Manis dari Pulau Pahawang


Sudah lama saya tidak menginjak pasir pantai, sampai lupa kapan terakhir kali kulit saya menghitam. Jumat bertanggal merah di bulan Januari lalu resmi memberangkatkan saya dan beberapa kawan ke Pulau Pahawang, Lampung. Dengan kereta Rajabasa, saya menempuh perjalanan selama hampir 10 jam untuk mencapai Bandar Lampung. Perjalanan disambung dengan menyewa angkot ke Pelabuhan Ketapang. Dari pelabuhan Ketapang saya dan rombongan menyewa kapal nelayan untuk menyeberang ke Pulau Pahawang Besar. Sebelum ke sana, kami mampir ke Pulau Mai Itam untuk snorkling. Yes! Akhirnya saya kembali merasakan asinnya air laut.

Spot yang saya temui di Mai Itam tidak terlalu bagus. Masih banyak pasir yang sering mengganggu penglihatan. Ikan-ikannya juga tidak terlalu banyak. Hanya ada beberapa bintang laut berwarna biru dan bulu babi. Tapi siapa yang peduli dengan semua itu, mengambang di laut saja saya sudah sangat girang.

Menjelang dzuhur, kami segera menuju ke Pulau Pahawang Besar untuk bersiap solat Jumat di satu-satunya masjid di pulau tersebut. Kami membersihkan diri di rumah Pak Arsali, pemilik kapal sekaligus pemilik rumah yang kami tumpangi. Sembari menunggu yang lain solat Jumat, saya menikmati kelapa muda di teras rumah ditemani angin sepoi-sepoi. Hmm, ada yang lebih nikmat?
***

Pulau Pahawang Besar hanya dihuni beberapa puluh keluarga yang hampir seluruhnya menggantungkan hidup dari hasil laut. Bangunan rumahnya sederhana dan hampir seragam. Seluruh rumah dibangun sendiri oleh penduduk pulau dengan gotong royong. Listrik bersumber dari tenaga matahari dan hanya mengalir di malam hari, itu pun sangat terbatas. Meski begitu, pulau ini sudah memiliki sekolah dasar dan menengah. Di ujung pulau terdapat sebuah vila kayu milik Mr. Joe, seorang pengusaha parfum asal Perancis. Di depan vila terhampar pulau kecil yang beberapa tahun lalu juga resmi menjadi pulau pribadi si bule Perancis.

Istri Pak Arsali banyak bercerita tentang si bule pemilik pulau. Tentang kebaikannya pada penduduk, tentang pesta akhir tahunnya di pulau, hingga tentang istri-istrinya yang tersebar di banyak tempat. Si ibu juga banyak bercerita tentang anak-anaknya, yang sudah bosan main di laut dan lebih senang main di waterpark yang letaknya sangat jauh di pulau seberang.
 
Saya suka sekali menggoda anak sulung si ibu, juga temannya yang tambun. Lucu dan polos. Ah, saya lupa namanya. Mereka bisa menyelam bebas sampai kedalaman 10 meter. Sangat keren menurut saya untuk ukuran anak SD. Jangankan menyelam bebas, berenang di laut dengan kedalaman 5 meter saja saya masih ngeri.
***

Sore hari saya sempatkan mampir ke salah satu pulau gosong di gugusan Pulau Pahawang. Bagus, tapi cukup ramai. Saya hanya menyusuri pasirnya yang kasar karena bercampur pecahan koral. Bersama gerimis, saya betah sekali duduk di atas pasir menikmati lanskap sore di Pahawang. Karena hujan mulai lebat, kami memutuskan untuk berteduh ke kapal dan kembali ke rumah.
The gals
The guys
Sampai di dermaga, hujan masih belum reda. Ah, saya melewatkan momen berenang bersama anak lokal. Biasanya mereka suka bermain di dermaga saat sore. Yah, mungkin di kesempatan lain.

Malamnya, kami bakar ikan yang langsung dibeli saat nelayan pulang dari laut. Sangat segar dan tentu sangat murah. Jangan ditanya bagaimana rasanya. Saya tidak berhenti mengunyah. Perut saya penuh berisi ikan dan cumi bakar malam itu.

Merasa terlalu sore untuk tidur, saya memasang muka melas mengajak untuk main ke dermaga. Menggelar tikar, berbaring, dan hanya mengobrol hahahihi. Salah satu saat favorit saya, berbaring melihat bintang di tepi laut. Tidak berbuat apa-apa, sampai mengantuk.

Keesokan harinya, saya berniat mengejar sunrise. Kata si ibu matahari terbit bisa tampak jelas di ujung timur pulau. Hanya perlu berjalan selama 20 menit dari rumah. Melewati vila kayu si juragan parfum, saya menuju ke tempat yang diceritakan si ibu. Ah, lagi-lagi kurang beruntung. Saya telat. Matahari sudah menyembul naik. Salah saya tidak berangkat lebih pagi. Oke, mungkin di kesempatan lain, untuk membalaskan dua 'dendam' yang belum tersampaikan.
Pagi di Pahawang
Setelah sarapan, saya dan rombongan menuju kebun buah naga yang terletak di sisi barat pulau. Di sana saya bisa makan buah naga sepuasnya! Gratis! Pas sekali dimakan saat matahari terik. Mata saya terasa segar melihat deretan pohon serupa kaktus dengan buah berwarna merah menggantung. Ranum. Segera mengingatkan tentang mimpi saya memiliki kebun anggur atau buah naga sendiri.

Dengan perut penuh, kami segera menuju spot snorkling. Setelah beberapa kali pindah, perahu kami berhenti di salah satu spot yang bagus. Kali ini tidak mengecewakan. Terumbu karangnya berwarna-warni. Ikan bersliweran tanpa sungkan di sekitaran saya, termasuk ikan badut, si pemeran utama di film animasi Finding Nemo. Saya bisa bermain dengan si ikan narsis ini sampai bosan.

Saat matahari hampir di atas kepala, saya dan rombongan kembali ke rumah untuk makan siang dan berkemas. Saat-saat tidak menarik, berkemas untuk pulang. Tidak bisakah saya melewatkan hal membosankan itu dan tetap berada di liburan ini? Hm..

Saya berjalan pelan di atas dermaga menuju kapal, memandangi anak-anak lokal yang sedang bermain bola. Melihatnya, membuat tas punggung saya terasa berat. Tidak lupa saya menabur rindu di pasir putih pantai, yang suatu saat akan saya sambangi kembali. Bukan selamat tinggal untuk pulau ini, hanya sampai jumpa.

(foto oleh Eko)
Pada akhirnya, semua itu akan menjadi sesuatu yang manis. Paling tidak untuk saya sendiri. Selain dengan sekantong penuh kripik pisang khas Lampung, saya pulang dengan mengantongi banyak cerita bertopik pantai. Apa sih yang tidak menarik dari sebuah pantai? Hahaha.

Wednesday, April 2, 2014

Mencoba Beradaptasi dengan Jalanan Palembang

Dulu, saat di Banyuwangi, saya sering heran dengan pengguna jalan yang luwes menerobos lampu merah. Sekarang, adegan seperti itu sudah menjadi pemandangan saya setiap hari di Palembang. Malah saya terlihat cupu dengan menjadi satu-satunya pengendara yang berhenti saat lampu merah di perempatan Pasar Lemabang. Saya sampai mengira kalau tingkat penderita buta warna di kota ini sangat tinggi. Supir angkot di sini juga suka sekali mengkombinasikan kecepatan tinggi dan rem mendadak sepanjang perjalanan trayeknya. Naik angkot rasanya mirip dengan naik jet coaster di taman hiburan.

Di Surabaya, masyarakat 'dipaksa' untuk tertib lalu lintas. Jangankan menerobos lampu merah, mengganggu lajur lain saja (lajur ya, bukan jalur) sudah dicegat polisi. Entah itu disebut tertib atau bapak polisinya yang memang gencar mencari 'mangsa'. Paling tidak, dampak positifnya jalanan Surabaya jadi sedikit lebih teratur, dengan catatan, saat banyak polisi yang bertebaran di jalan.

Apakah di Palembang berkendara seenak hati itu seperti penyakit turunan yang sulit disembuhkan? Atau semacam penyakit menular, sampai-sampai teman-teman dari luar Palembang pun sekarang mulai suka menerobos lampu merah. Hah, jangan sampai hidup lama di Palembang membuat lobus occipital saya membengkak sampai tidak bisa membedakan warna merah, kuning, dan hijau di perempatan jalan.

Wednesday, March 5, 2014

Belajar tentang Teori Usia

"Seorang filsuf Yunani pernah menulis... Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda."
Soe Hok Gie, dalam Catatan Seorang Demonstran.

Entah saya harus setuju atau tidak dengan pendapat Gie. Saya tidak tahu saya akan sesombong apa jika saya masih bernafas sampai 4 dekade lagi. Mungkin saya hanya bisa menumpuk dosa. Atau mungkin saya menjadi orang yang beruntung bisa hidup berdampingan dengan orang-orang yang sangat baik. Saya bahkan tidak berani untuk membuat sebuah prediksi.

Saya beranggapan bahwa setiap orang memiliki usia yang sempurna untuk hidup mereka masing-masing. Saya sedikit risih mendengar pernyataan bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, seakan hidup ini begitu menyeramkan. Bukan begitu? Entahlah, tapi bagi saya, duduk di pinggiran pantai saat senja itu menyenangkan, berebut makanan dengan teman-teman sepermainan itu seru, dan tertawa bersama ayah ibu saat sore adalah hal yang tidak pernah membosankan. Meskipun tidak semua bisa semanis itu, paling tidak ada banyak alasan bagi saya untuk tetap memperjuangkan hidup.
***

Hari ini saya genap berusia 24 tahun, usia yang sedikit membosankan menurut saya. Haha. Kabar gembiranya, saya masih dikelilingi orang-orang yang menyenangkan. Saya tidak peduli seberapa banyak yang saya terima dari mereka, tapi saya menghitung dengan jeli berapa waktu yang mereka habiskan untuk saya. Dan, yang paling bisa memacu endorfin adalah ketika melihat keringat mereka mengalir demi membuat saya tertawa. Benar-benar, sudah mati rasa kalau saya tidak suka.

Mungkin saya tidak sengaja menjadi orang yang egois, membiarkan teman-teman saya sibuk untuk hari ini yang menurut saya tidak penting. Namun, paling tidak saya bisa belajar banyak. Belajar menghargai orang-orang di sekitar saya. Belajar bersyukur atas "kesialan" saya jauh dari keluarga. Belajar mensyukuri setiap detik yang diberikan kepada saya untuk melihat, mendengar, dan bernafas.
Ah, saya benci mengatakan ini, tapi sungguh, "Ayah, Ibu, aku tidak sabar ingin mengenalkan kepada kalian saudara-saudara baruku yang ada di sini."

"Mungkin saya sedikit setuju dengan tulisan Soe Hok Gie (anggaplah hanya karena saya mengagumi sosoknya), tapi di luar kemampuan nalar manusia, Tuhan pasti punya banyak alasan atas sebuah usia"

Thursday, February 6, 2014

Memilih untuk Berlogika atau Berperasaan

Saya pernah mendengar tentang Alexithymia, sebuah gangguan psikologis dimana seseorang menggunakan porsi logika jauh di atas perasaaannya. Orang dengan Alexithymia ini akan cenderung tidak bersahabat, tidak sentimentil, dan terlalu logis. Sebenarnya seseorang tidak bisa dikatakan secara mutlak menderita Alexithymia karena porsi penggunaan logika setiap orang berbeda. Orang-orang dengan Alexithymia akan selalu mengatasnamakan logika dan prinsip dalam menghadapi masalah. Well, sebuah masalah memang biasanya akan lebih mudah diselesaikan jika menggunakan logika. Namun, saya tidak yakin apakah solusi tersebut adalah yang paling baik, terlebih jika menyangkut hubungan manusia.


Dalam proporsi penderita Alexithymia, populasi pria lebih banyak dibandingkan wanita. Sangat bisa ditebak, dari banyaknya wanita yang lebih sering menangis di bioskop selama menonton film drama, dan dari banyaknya wanita yang memenuhi playlist mereka dengan lagu-lagu berinstrumental melo. Jika di malam hari seorang suami memikirkan bagaimana seekor nyamuk bisa menemukan kulit manusia di kegelapan, si istri lebih memilih untuk melamunkan hal-hal indah yang sudah terlewati hari ini. Ketika para pria sibuk menyelamatkan barang-barang dari rumah yang terbakar, para wanita lebih banyak terduduk lemas dan menangis memandangi rumah yang terbakar. Memang para pria ditakdirkan untuk lebih banyak menggunakan logikanya dibandingkan wanita.


Logika dan perasaan banyak dikenal sebagai dua kutub yang berlawanan. Dan ternyata memang benar. Sebuah studi baru dalam Neurolmage mengungkapkan bahwa logika dan empati menggunakan jalur saraf terpisah yang bekerja secara bergantian. Seseorang tidak bisa menggunakan logika dan empatinya secara bersamaan. Bila saraf empati sedang sibuk, saraf untuk analisa akan ditekan, dan ini beralih sesuai dengan tindakan yang sedang dilakukan. Jadi, wajar kalau laki-laki menangis setelah selesai menyelamatkan barang-barang dari rumah yang terbakar dan wanita mulai membantu membereskan barang dengan sedikit senggukan tangis yang masih tersisa.
***


Saya sendiri berharap saya bukan orang dengan Alexithymia, meskipun banyak orang menuduh saya terlalu mengedepankan logika. Bagi saya, logika adalah salah satu cara yang ampuh untuk bersikap adil. Seorang hakim harus selalu mendahulukan logika saat memutuskan hukuman kepada seorang pencuri yang mengaku menjadi tulang punggung keluarga di tengah kesulitan menyambung hidup. Memang tampak menyakitkan, dan terkesan seperti berhati batu. Namun, itu fair, menurut saya. Saya bisa menahan untuk tidak membeli koran pada seorang nenek tua renta yang biasa berjualan di lampu merah. Bukan, bukan berarti saya tidak kasihan. Saya sering melihat banyak pengendara mobil atau motor membeli koran dengan memberi uang lebih pada nenek itu. Di seberang jalan, anak perempuan si nenek yang nampak masih bugar, sedang menunggui si nenek ”bekerja”. Bisa disimpulkan sendiri bagaimana kondisinya. Memberi sedekah memang hak masing-masing orang, tapi saya mencoba melihat nilai yang bisa bertunas: keluarga semakin malas mencari nafkah, hanya mengandalkan nenek yang sedang memanfaatkan belas kasihan orang-orang. Di luar sana masih ada banyak sekali yang juga membutuhkan, menurut saya.


Saya tidak sepenuhnya mengangkat tinggi-tinggi logika dan mengubur empati. Saya hanya berusaha bersikap adil untuk meminimalisasi adanya pihak yang terdzolimi. Bukan berarti saya tidak berperasaan kalau saya tidak menyukai lagu mendayu-dayu cengeng yang melulu tentang patah hati. Toh, saya masih menyukai lagu-lagu berirama sederhana dengan lirik yang tidak biasa. Namun, saya memang merasa sangat nyaman dengan memutar musik yang lebih bersemangat di sela-sela aktivitas saya bersama teman-teman.


Ibu saya pernah mengeluh karena merasa saya sangat keras kepala dan egois. Tidak ada maksud lain, saya hanya ingin semua masalah selesai tanpa harus ada yang dipendam. Saya tahu ada yang merasa tersakiti, tapi sakit itu akan berganti dengan perasaan lega. Saya lebih memilih untuk sakit tetapi sangat lega daripada harus menyimpan lama sampai membusuk di dalam hati. Bukan berarti saya tidak peduli pada ayah ibu ketika saya menjadi satu-satunya orang yang tidak menangis di ruangan saat ada masalah pelik keluarga. Saya hanya mencoba untuk selalu berpikir realistis. Saya tidak suka terjebak dalam suasana sedih atau pun haru berlebihan. Saya lebih suka berada dalam suasana hangat yang banyak memacu endorfin. Saya memang terlalu keras dan tidak peduli, tapi, dalam batas mampu saya, saya ingin sedapat mungkin berbuat apapun hingga melebihi batas logika, demi orang tua saya.




*tulisan ini saya buat karena ayah saya, yang pernah sakit hati akibat sikap dan perkataan saya yang terlalu mendewakan logika. Jika adik saya berkata hati saya sekeras batu, mengapa ulu hati saya terasa begitu ngilu saat mendengar pengakuan adik tentang ayah saya yang sakit hati. Tidak pernah bisa ditarik sebuah benang merah bahwa saya berhati batu hanya karena saya tidak mau menangis di depan ayah saya.

Tuesday, January 28, 2014

Sekali lagi, Kawan Lama

Baiklah Yona Ribut Perdana, saya akui saya kangen dengan anda.

Yona adalah salah satu teman saya yang rajin mengecek status apakah-saya-kangen-dengan-dia-atau-tidak. Pertanyaan itu yang selalu pertama muncul di setiap pesan Whatsapp yang dia kirimkan ke saya. Yona yang kini bekerja di salah satu BUMN bonafit di Indonesia, adalah adik tingkat saya saat kuliah. Salah satu makhluk Tuhan sejenis manusia ini memang tidak biasa. Konteks "tidak biasa" di sini lebih baik tidak diterjemahkan dalam bentuk positif. Yona yang saya kenal adalah orang yang tidak berurat malu, sering memberatkan hidup saya, dan selalu mengotori pikiran saya saat saya ingin berpikir bersih. Baiklah, Yona memang tidak "sekotor" itu. IPK Yona saat kuliah sangat tinggi  untuk ukuran mahasiswa kurang normal seperti dia. Dia adalah seorang pemikir yang kritis dan berlogika cerdas, bisa dilihat dari lawakan-lawakannya yang genial. Dalam kamusnya, usaha adalah kosakata yang ada di halaman paling depan. Ya, Yona adalah seorang pekerja keras, bukan seorang pemalas yang banyak membuang waktunya begitu saja. Namun, di dalam sifatnya yang kuat, dia masihlah seorang anak mama yang manja.

Yona bercita-cita ingin bekerja rapi di kantor yang full AC dengan meja kerja yang sangat nyaman. Dasar anak manja. Sekarang sudah tercapai kan, Yon? Hidup nyaman dan bisa membahagiakan orang tua. Tersisa 1 poin dalam daftar keinginannya yang belum tercentang, mencari istri yang bukan seorang sarjana teknik. Takut kalah gengsi jika si istri bekerja di pengilangan minyak sedangkan dia bekerja di ruangan kantor berpendingin ruangan.  

Kalau menyebut nama Yona, saya selalu teringat kost-kostan sempitnya di daerah Kuningan dan juga pecel lele enak langganannya. Saya dan salah satu teman Yona, Rangga, sudah 2 kali merasakan paket jamuan ala Yona, menginap di kostannya dan makan pagi-siang-malam di warung pecel lele. Yona yang notabene pertama kali hidup jauh dari rumah, belum terbiasa dengan makanan-makanan jalanan di Jakarta. Jadilah pecel lele tersebut menjadi alternatif menu makan favoritnya selain mie instan.

"Terima kasih sudah memperbolehkan saya mengkudeta kamar dan mengusirmu ke lantai atas di setiap kunjungan saya. Tunggu kedatangan saya di Jakarta. Karena kantongmu sudah tebal, saya sudah tidak ingin ditraktir pecel lele dan menginap di kostan yang dulu. Hahaha."

(Entah kenapa postingan saya akhir-akhir ini lebih banyak bercerita tentang kawan lama. Bukan berarti saya bosan dengan teman-teman baru. Mungkin saya terjangkit sindrom rindu kawan lama, atau mungkin saya butuh me-refresh memori lama saya, atau mungkin saya ingin berkumpul dengan kawan lama untuk menceritakan teman-teman baru saya? Hm, yang jelas saya sedang kangen Surabaya dan kawan lama.)

Monday, January 20, 2014

Cinta Lama di Bangku Kuliah

Dulu saya memang bukan mahasiswa pintar ber-IPK cumlaude dengan setumpuk prestasi. Saya juga bukan aktivis yang duduk di jabatan tinggi organisasi kampus. Saya hanya mahasiswa berintelijen rata-rata yang masih suka titip absen dan sering merasa sok sibuk membantu teman-teman di acara-acara kampus. Namun, saya akui saya sangat rindu masa kuliah. Kuliah itu banyak bertolak sisi dengan bekerja. Saya sangat senang saat harus bergerak ke sana kemari mengerjakan tugas responsi kelompok. Saya menikmati sekali saat bangun kesiangan dan dengan ringan hati memutuskan untuk bolos kuliah. Saya juga menyukai saat-saat nongkrong di sela jadwal kuliah yang tidak tentu. Sekarang keadaannya tidak sama. Tidak ada lagi kaos dan sepatu kets yang biasa menemani aktivitas saya. Tidak ada lagi jadwal begadang bersama teman sekelompok. Kegiatan semi rutin jalan-jalan berburu udara segar sepertinya juga sudah mulai hilang. Saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan duduk di ruang rapat atau di depan komputer. Berat badan saya naik dan saya merasa sedikit sulit bergerak. Bahkan, seringkali saya berjalan-jalan tidak jelas di kantor hanya untuk sekedar menggerakkan badan.

Dari banyak hal menarik yang berlabel kuliah, ada satu yang sangat saya rindukan, teman-teman seangkatan saya. Ratusan remaja labil yang baru saja melepas seragam putih abu-abu, dengan berbagai karakter, berkumpul di kampus Surabaya. Tidak semuanya rajin, tidak semuanya orang yang sabar, juga tidak semuanya peduli. Tetapi semuanya menyenangkan, menurut saya.

Saya mencoba mengingat secara acak orang-orang yang ada di sekitar saya selama 4 taun kuliah:

1. Dominggo Bayu Baskara
Sang fotografer. Rogoh kocek sedikit dalam untuk mendapatkan satu kali sesi foto dengannya, hasilnya tidak akan mengecewakan. Domi memperlakukan kamera dengan manis laiknya merawat seorang istri. Protektif. Jadi, jangan sekali-kali mencoba untuk "mempermainkan istri" Domi.

Saya suka sekali gaya bicaranya. Santai dan asik. Domi memang seperti memiliki teritori sendiri, yang kadang tidak semua orang bisa menembusnya dengan mudah. Kalau ada yang berkata dia apatis, saya lebih suka menyebutnya sebagai sebuah karakter, semacam personalitas yang anti-mainstream. Masih ada yang menyebutnya apatis setelah bersesi-sesi foto gratis dari Domi?

2. Maria Ulfa (Emyu)
Gadis manis asli Surabaya ini adalah teman yang easy going. Mau ke sana santai, mau ke sini ayo. Saking santainya, saya berpikir sepertinya dia tidak bisa sakit hati. "Wis ta, jarno ae..", kata-kata yang sering muncul saat dia ada masalah. Tetapi saya baru tahu ternyata seorang Emyu tidak bisa santai saat berhadapan dengan dosen penguji di sidang tugas akhir.

Sependek ingatan saya, Emyu memiliki kemampuan melihat makhluk-makhluk tak kasat mata. Sejak kecil Emyu sudah terbiasa dengan keberadaan makhluk berbeda dunia itu. Dia sudah hafal betul "siapa" saja yang menghuni gazebo, lorong-lorong sekitar gedung kuliah, dan bangunan-bangunan tua di kampus. Bahkan kadang dengan ringan dia menyebutkan makhluk-makhluk asing yang ada di sekeliling saat kami sedang asik main kartu. Cukup ampuh membubarkan permainan kartu kami untuk beralih ke tugas kuliah masing-masing.

3. Bayu Dwito Wicaksono (Bedewey)
Ada beberapa poin tentang seorang Bedewey yang saya garis bawahi: pemikir, kreatif, dan pembawa kesesatan. Pemikir, karena tidak suka menelan mentah-mentah informasi yang dia peroleh. Kreatif dengan banyak sekali ide segar yang tidak ada habisnya. Si pembawa kesesatan, karena dia lah salah satu orang yang berhasil menanamkan pikiran-pikiran negatif pada saya. Adalah salah satu penyesalan besar saya, bertemu dengan dia.

Di balik dominasi otak kanannya, Bedewey adalah seorang yang berlogika mumpuni. Entah dia yang sok pintar atau saya yang terlalu lugu, banyak sekali komentar darinya yang membuat saya menganggukkan kepala karena takjub. Oke, saya berlebihan. Dia tidak seperti itu. Dia sangat standar, hanya seorang penjaga laboratorium Ergonomi yang rutin menginap di lab karena tidak mampu membayar uang kost.

4. Wahyu Rosita Madasari (Britni)
Saat awal masuk sebagai mahasiswa baru, saya sempat sedikit kesal dengannya. Gara-garanya, si gadis yang akrab disapa Britni ini sangat cerewet dan sedikit jutek. Tapi adagium 'tak kenal maka tak sayang' itu memang tidak salah. Kalau sekarang saya diminta untuk mendeskripsikan seorang Britni, akan jelas berbeda dengan yang lalu. Dia adalah seseorang dengan kadar percaya diri di atas rata-rata, berani, dan sangat santai. Satu hal yang saya sukai darinya adalah karena Britni salah satu teman yang paling, em.. natural menurut saya. Apa adanya. Saya sering iri dengan Brit yang bisa dengan mudah dan ringan menyelaraskan antara ucapan dan apa yang dipikirkannya.

Britni adalah orang yang bersemangat. Dia yang menggerakkan kami untuk menjual spaghetti dan kudapan di gazebo, mengumpulkan recehan demi bisa berangkat Studi Ekskursi bersama. Ah, Britni manis sekali. Apa kabarmu sekarang, Brit?

***

Mereka hanya segelintir dari ratusan orang yang menjadi saudara saya di Surabaya. Masih ada Fauzi Firman si anak alam, Syarif si Madura tulen, Didit si anak pantai, Toni Utomo si pembalap ulung, Heidy Anggraini si personil Cherybelle, Hakim Habibi si jenius, dan sederet nama lain yang selalu saya ingat. Kalau bukan kepada mereka, kemana lagi saya lari saat bosan, saat butuh salinan catatan, saat kesulitan, bahkan saat lapar.

Jadi, sedang apa kalian sekarang?
Sudah sibuk dengan kesenangan masing-masing?
Kapan kita bertemu lagi?
Atau kita susun rencana berlibur bersama?
Bali sepertinya masih menarik untuk yang kedua kali, atau Lombok? Hm..
Berapa orang yang sudah menikah?
Siapa saja yang sedang belajar mengganti popok?
Atau siapa yang masih betah berkutat dengan buku-buku diktat tebal sampai sekarang?

Banyak pertanyaan yang menumpuk untuk teman-teman saya di sana. Teman yang sering menertawakan saya. Teman yang meminjami saya tugas kalkulus. Teman yang mau berbagi mie ayam gazebo dengan saya. Teman yang sering kesal dengan kelalaian saya. Teman yang biasa berjejal dengan saya saat mengantri di kantin. Teman yang bersama-sama meneriakkan yel-yel di bawah hujan deras. Teman yang mau bernyanyi bersama di tepian Danau Bedugul. Dan yang jelas, teman-teman dengan balutan kain kuning yang sama di semester pertama.

Sampai jumpa kawan, di saat nanti bisa berkumpul bersama, dengan membawa cerita bahagia masing-masing dari kita..