Thursday, October 31, 2013

Retoris

Ada kalanya pertanyaan dari ibu kepada saya hanya formalitas. Kali ini saya tidak ingin menjawab, atau mungkin saya tidak bisa menjawab, karena saya merasa selama ini sudah terlalu sering berkata tidak.


"Tak apalah, yang penting ibu bahagia.."

Friday, October 18, 2013

Pasir yang Adiktif

Tengah tahun di 2011, sebagai pelarian saya di tengah-tengah kerja praktek. 


Setelah berjam-jam duduk di kursi belakang mobil yang saya tumpangi, akhirnya saya sampai di Legian. Saat itu kantong saya masih berlabel mahasiswa kost-kostan, jadi saya harus memutar otak bagaimana agar biaya perjalanan ke Bali kali ini bisa ditekan. Beruntung saat sampai di Pelabuhan Ketapang saya bertemu dengan sebuah keluarga asli Bali yang akan pulang kampung. Kami hanya membayar sekian puluh ribu untuk tumpangan 3 orang. Sampai di Legian malam hari. Segera saya mencari penginapan murah berpedoman pada referensi yang saya kumpulkan dari internet.

Setelah sejenak meletakkan punggung ini di kasur penginapan, saya memutuskan untuk main ke pantai. Saya sudah sangat rindu dengan pasir Pantai Kuta. Saya kangen suasana Kuta di malam hari. Saya dan salah satu teman saya mulai menyusuri gang kecil Poppies Lane yang sangat ramai di malam hari. Hanya ada segelintir pribumi diantara ratusan warga asing yang berlalu-lalang. Kami tampak aneh dengan pakaian panjang dan jaket tebal diantara bule-bule yang berpakaian pendek dan tipis. Sepanjang jalan banyak yang menawari kami agar mampir ke kedai mushroom (semacam minuman memabukkan yang terbuat dari jamur) milik mereka. Tampaknya tawaran mereka hanya sekedar ledekan pada orang-orang cupu yang sedang lewat seperti kami.

Karena urusan perut, mampirlah kami ke KFC yang berada tepat di seberang pantai. Restoran ini menjadi opsi terakhir kami karena sulit mencari tempat makan halal di sekitaran pantai, terlebih di malam hari. Yang ada hanya bar-bar berisi penuh wisatawan asing yang sedang menikmati musik khas diskotik sambil minum-minum. Saya memilih meja terluar dari restoran untuk makan sambil menikmati suasana Kuta. Jalanan sangat ramai. Suara musik house yang dimainkan para disc jockey bercampur dimana-mana. Sedikit demi sedikit pengunjung pantai berkurang dan beralih ke bar-bar yang tampak semakin penuh sesak. Sebenarnya saya merasa sangat kikuk di tengah suasana ini. Saya tidak suka. Bahkan sedikit terselip rasa takut kalau terjadi apa-apa. Tapi saya mencoba tetap terlihat santai dengan penampilan saya yang "aneh" dari yang lain.

Malam sudah semakin larut. Pukul setengah 12. Segera saya menghabiskan sisa minuman soda saya untuk segera berjalan ke pantai. Menginjak pasir pantai, saya mencari tempat yang cukup dekat dengan batas air laut. Dengan hanya diterangi lampu-lampu di seberang jalan, saya duduk menikmati debur ombak yang terasa sangat dekat. Ya, saya hanya duduk dan tidak berbuat apa-apa, mengarahkan pandangan saya jauh ke lautan yang gelap. Sesekali saya menengok ke arah utara, melihat kembang api warna-warni sisa pesta para turis.

Sambil merasakan angin pantai yang semakin dingin, saya meletakkan punggung saya di atas pasir. Lelah di pundak seakan menumpuk ingin direbahkan sejenak. Saya sedikit sekali mengobrol dengan teman di samping saya yang rupanya ikut membaringkan badannya di pasir. Hanya sesekali terdengar suara obrolan kami, sisanya hanya suara musik bar dan deru ombak. Ah, saat-saat favorit saya, diam mendengarkan suara ombak di malam hari.

Pukul 12 malam suara musik dan ombak terdengar semakin sayup di telinga saya. Dan saya mulai tertidur. Beralaskan pasir Pantai Kuta, di bawah langit Kota Denpasar belahan selatan, ditemani suara debur ombak yang tidak pernah terputus, saya melepas lelah. Tak tahu berapa lama saya tertidur. Yang saya ingat, pantai sudah sangat sepi saat saya terbangun. Sambil mengembalikan kesadaran, saya membersihkan pasir-pasir yang menempel di jaket. Masih dengan angin yang bertiup kencang dan udara yang dingin, saya merapatkan kedua lengan dan segera beranjak untuk kembali ke penginapan.

Selama 4 hari di Bali, saya tidak absen mengunjungi Pantai Kuta setiap malam. Sama seperti malam sebelumnya, hanya memperhatikan aktivitas para turis asing, bersila di atas pasir, dan berbaring mendengarkan suara ombak. Kalau ada kesempatan lagi, saya masih mau mengulang momen-momen tidak penting itu. Mungkin di lain kesempatan, masih di pantai yang sama.

Tuesday, October 8, 2013

Tengah Hari di Minggu ke 7

"Del, siang ini makan di sini saja, bareng-bareng," suara Pak Haji Kus mengalihkan perhatian saya dari pesan-pesan WhatsApp yang sedang saya baca. Pak Haji Kus adalah salah satu staf di tempat saya menjalani training di minggu ke-7 ini. Selama 3 hari saya belajar di sebuah gedung arsip berukuran sedang yang terpisah sedikit jauh dari gedung utama tempat saya sehari-hari mempelajari materi. Hari ini saya memutuskan makan siang bersama rekan-rekan saya di gedung arsip, meninggalkan kebiasaan saya makan bersama teman-teman seangkatan seperti sebelumnya.

Hari ini saya beruntung mendapat sebungkus nasi ayam bakar Padang gratis. Perut yang sudah lapar membuat saya tidak sempat basa-basi untuk menolak rejeki siang ini. Segera saya ke dapur mengambil piring, sendok, dan segelas penuh air putih, kemudian bergabung dengan yang lain di ruang tengah. Di ruangan 3x4 m yang dingin itu sudah berkumpul Pak Anton serta kakak-kakak pegawai outsourcing yang biasa mengangkut puluhan kardus arsip di gedung ini. Tinggal menunggu Pak Haji. Saya menatap satu per satu bungkusan nasi di atas meja yang sudah siap disantap. Eit, tidak ada piring dan sendok di atas meja, hanya ada satu, yaitu piring dan sendok yang tadi saya bawa. Yang lainnya cukup dengan hanya membasahi tangan di air mengalir. Pak Haji datang dan serempak kami membuka bungkusan nasi masing-masing. Hm, nasi putih yang masih hangat, ayam bakar bumbu Padang, sayur nangka, dan sebungkus kecil sambal cabai ijo, membuat perut saya semakin lapar. Tanpa komando kami segera melahap nasi porsi jumbo di hadapan kami. Kakak-kakak di sana tampak mulai berkeringat karena rasa pedas sambal yang bercampur nasi hangat. Saya tidak terlalu suka makanan pedas, tapi melihat kakak-kakak itu makan, membuat saya semakin berselera. Kali ini saya makan banyak sambal, membuat mata saya sedikit berair karena tidak tahan menahan pedas. Ya, di sini kami makan sesuka kami, dengan lauk seadanya, dengan nasi porsi besar, dan dengan suasana yang akrab. Sembari makan kami banyak mengobrol. Membicarakan tentang apa saja. Tentang memancing, tentang makanan-makanan enak yang murah, tentang lelucon-lelucon orang Palembang, tentang bahasa Palembang saya yang masih acak-acakan, tentang saya yang akan disembelih di lebaran haji besok, dan banyak hal. Dengan suara yang lantang, dengan perut yang semakin kenyang, dengan celotehan dan gerakan-gerakan bodoh kami yang membuat saya tidak berhenti tertawa, siang ini saya makan dengan lahap. Tanpa ada beban. Tanpa sungkan.

"Bu Adel, saya nak begawe dulu, barang-barang sudah menunggu", Kak Arifin menggoda saya dengan panggilan "Bu". Saya hanya tertawa dan membalas, "monggo, Om", dilanjutkan dengan tawa seluruh ruangan yang kemudian mengakhiri obrolan kami siang itu.

Mau seperti apa manusia, pasti selalu memikul beban. Entah itu sangat ringan atau berat, hanya kita yang merasakan. Tidak ada parameter yang jelas. Sama seperti bagaimana kita bersyukur, tidak akan pernah ada tolok ukurnya. Yang harus saya garis bawahi, bersyukur itu juga berlaku untuk hal-hal kecil, yang selama ini sering terabai oleh saya.

"Mungkin leher saya sudah terlalu lama mendongak ke atas, ketika saya menengok ke bawah, tiba-tiba pundak ini terasa lebih ringan"