Thursday, September 17, 2015

Mendengar

Saya memiliki seorang teman dekat, yang sering menasehati saya. Dan mirisnya, seperti otomatis, saya selalu menolak mentah-mentah perkataannya masuk ke otak. Sebelum akhirnya selalu menyesal. Siklusnya: saya berbuat salah - teman menegur - saya keras kepala - saling emosi - energi terkuras - kemudian saya menyesal. Begitu seterusnya. Melelahkan.
Saya baru tahu, ternyata mendengar itu sesulit ini.
Hampir habis energi saya. Saya hampir menyerah. Beri saya energi tambahan. Atau mungkin memang menunggu energi saya habis, sampai saya tidak kuasa lagi mengelak, sehingga saya bisa mulai mendengarkan.

Wednesday, September 2, 2015

Kulacino

Saya sedang sangat malas. Saya malas makan. Saya malas bicara. Saya malas makan es krim. Saya malas bersepeda. Saya sedang malas bersenang-senang. Sepertinya hormon kortisol saya sedang tinggi-tingginya. Saya sedang menyebalkan. Beruntungnya masih ada kopi yang menyelamatkan, kopi hitam murah yang saya dapatkan secara cuma-cuma di kantor setiap hari. Cukup menjaga mood saya agar tidak terlalu menyebalkan.

Sedikit demi sedikit saya mulai sadar kalau saya menyebalkan. Merasa jadi orang paling benar sedunia. Mencari alasan-alasan untuk menyelamatkan diri sendiri, mencari pembenaran. Bodoh sekali. Kata-kata saya masih sesuka hati. Menyakiti orang-orang disana dan disini.

Dulu saya adalah salah satu orang yang mengamini teori tentang standar manusia yang berbeda-beda, karena kebenaran itu relatif. Apa yang saya kira benar, belum tentu benar untuk orang lain. Teori ini menyuruh saya agar tidak selalu menyalahkan orang lain. Semua orang berhak membangun paving jalannya sendiri. Selama tidak mengganggu yang lain, semua berhak melakukan apapun, menurut saya. Tapi kabarnya ternyata berbeda. Saya suka menuntut. Saya menyalahkan. Ah, sungguh menyebalkan. Saya masih berusaha mengontrol emosi saya agar tidak sesuka hati, agar tidak merusak paving jalan milik orang. Perlahan.

***

Seperti biasa, sore ini menjemukan sekali di kantor. Saya melirik bekas gelas minuman saya di meja. Kulacino. Ah, bahkan minuman saya saja meninggalkan bekas. Apalagi kata-kata saya yang sesuka hati ini. Seandainya menghapus bekasnya semudah menghapus kulacino.



Semakin lama semakin sulit berpikir. Sigh, kenapa kabut ini belum juga hilang. Ya sudahlah, saya bertekad besok harus mulai alay, seperti sebelumnya. Kembali bersenang-senang dengan aktivitas sepele. Saya ingin kentang goreng! Saya ingin apel!!

Tuesday, June 16, 2015

Hiatus

Januari lalu, terakhir saya menengok blog ini. Kemana saja saya lima bulan ini. Apa kabar berat badan saya. Apa kabar minggu sore ini dan kemarin. Semakin hari saya semakin malas. Hanya bersenang-senang setiap hari.

Saya tidak kemana-mana, hanya lebih banyak menikmati Palembang di malam hari. Berat badan saya turun, padahal saya banyak makan. Mungkin karena sering tidur terlalu larut. Lalu siangnya tertidur di kantor.

Lima bulan ini, apa saya tidak melakukan sesuatu pun? Atau justru saya terlalu sibuk sampai-sampai waktu terasa berlalu cepat? Saya pulang menengok kabar ayah dan ibu. Saya membeli sepeda baru. Saya berlibur ke Jogja. Saya menyusuri jalanan Palembang di malam hari. Saya datang ke pernikahan salah satu teman baik saya. Saya tertabrak motor, memaksa saya absen berenang dan bersepeda selama dua bulan karena kaki yang belum pulih. Saya pindah ke kontrakan baru. Saya masih rutin makan es krim. Banyak hal. Saya sibuk.

Sepertinya saya berubah, menjadi lebih egois, sesuka hati sendiri. Padahal saya sedang semangat ingin menjadi orang yang lebih peduli, lebih peka. Mungkin motivasi saya yang salah. Malah membuat lelah. Sepertinya saya hanya butuh istirahat. Jeda. :)

Saturday, January 3, 2015

Bye, December!!

Ujung tahun, sepertinya bukan suatu yang perlu diistimewakan. Acara musik di TV yang membosankan, jalanan di luar yang kelewat ramai, dan acara-acara malam yang kadang terkesan dipaksakan. Bagi saya, tahun baru itu masih sekedar tentang besok-libur dan besok-berganti-kalender. Yah, saya suka melihat kembang api, tapi telinga saya juga gatal mendengar suara nyaring knalpot motor.

Meninggalkan Desember, saya suka memutar kembali memori saya selama setahun. Banyak bertemu orang baru, banyak rezeki, banyak hal menyenangkan.

Tahun 2014 dimulai dengan menghabiskan akhir Januari di kampung nelayan di Pulau Pahawang. Saya seperti sedang melepas dahaga setelah lama tidak menyapa laut. Dan saat itu menjadi kali pertama saya menjatuhkan hati pada laut Lampung.

Di bulan April ada momen pindahan rumah yang menjadi salah satu masa kritis saya dan teman-teman sekontrakan. Saya harus merogoh kantong sedikit dalam untuk mengisi rumah yang kosong. Bahkan untuk belanja ke pasar saja kami begitu menghemat. Papa Ulfa datang di saat kering, membantu kami berbenah rumah dan menyelamatkan kami dari persediaan makanan yang menipis. Terima kasih Om, rendangnya enak sekali.

Tengah tahun, saya dan kawan-kawan menyempatkan bermain bersama adik-adik yang kurang beruntung di salah satu sudut kota Palembang. Menyenangkan, ternyata. Setidaknya dapat membukakan sebelah mata saya yang tertutup bahwa saya punya banyak sekali keluarga.

Lalu saya bertemu dengan bulan Ramadhan, sebagai Ramadhan pertama saya di Pulau Sumatera. Dan menjelang lebaran, saya mulai disibukkan dengan pikiran-pikiran rindu kampung halaman, menempelkan hitungan hari menjelang lebaran di dinding ruang tengah. Sebagai efek kali pertama mudik, sayur bening buatan ibu tak pernah sesegar ini sebelumnya. Seperti ini ya, Bu, rasanya merantau, saya menjadi lebih menghargai waktu bersama Ibu, saya menjadi ingin selalu mengiyakan kata-kata ayah, dan saya menjadi lebih cengeng mendengar kata rindu.

Masih di sela-sela libur lebaran, saya menyempatkan diri menghabiskan waktu bersama teman-teman dekat SMA saya di tepi laut. Meskipun cuaca masih belum berkawan dengan kami, tapi cukup untuk sekedar melepas rindu. Baiklah, saya sudah mengulang ini berkali-kali, tapi sungguh, tepi laut dan kawan lama adalah kompilasi yang tidak pernah membosankan.

Di bulan Agustus, saya kembali ke Palembang, kembali ke rutinitas. Saya tidak pernah mengutuk pekerjaan saya, tapi kembali berkutat dengan layar komputer setelah liburan itu rasanya seperti ingin membeli sebuah pulau pribadi dan meletakkannya di samping kantor saya. Beruntungnya, saya 'diseret' beberapa teman baru di kantor saya untuk sejenak membuang penat ke laut. Hanya sekedar berenang di laut, tapi cukup ampuh menghilangkan energi negatif saya di kantor.

Dalam almanak pribadi saya, tahun 2014 menjadi sebuah masa transisi. Saya mulai memberi ruang lebih luas pada pendapat-pendapat orang, memberi toleransi lebih pada selisih warna antara saya dan rekan. Di tahun ini saya juga mulai memakai jilbab, tidak lepas dari doa kawan-kawan baik saya. Terima kasih. Hehehe.

Tahun 2014 ditutup dengan mengantongi cerita tentang mengejar lumba-lumba di Teluk Kiluan, berenang di laguna bersama kawan-kawan baru, dan bermain dengan anak-anak di kampung nelayan. Sederhana sekali. Tidak ada kapal pesiar yang dulu pernah saya bayangkan. Hanya ada perahu cadik tak beratap yang mengantarkan saya ke pulau kecil di seberang. Tidak ada penginapan mewah di atas air. Hanya ada rumah sempit penduduk yang terbuat dari kayu tipis. Tidak ada minuman buah tropis dengan gelas bening. Yang ada hanya kelapa muda yang dipetik dari kebun sebelah rumah. Bagi saya, itu sudah cukup membuat Desember saya menyenangkan.

Ujung Tahun di Kiluan

Oke, sampai jumpa Desember. Salam manis dari saya. Saya masih menunggu banyak hal ajaib di tahun yang baru. Selamat bahagia di tahun 2015!