Dia yang mengenalkan saya pada sepeda dan kereta api. Tapi dia pelit, tidak pernah mau mengajari saya bermain catur.
Sampai sekarang, dia tidak pernah lepas dari sapu tangan di saku bajunya, sapu tangan tipis bermotif kotak-kotak.
Dia selalu bertahan dengan leluconnya yang berulang-ulang. Seringkali saya dapat dengan mudah menebak akhir leluconnya.
Dulu dia suka memotret saya, setiap saya tertawa dengan mata yang hanya nampak segaris.
Dia, yang punya mata sipit, sama seperti saya.
Dia, yang semakin hari semakin mengurus.
Dia, adalah ayah saya.
Ayah saya bukan yang tanpa cela, tetapi beliau adalah kombinasi ayah dan teman yang paling sesuai untuk saya.
Ayah sayang, cepat sembuh ya, gemuklah lagi, kita bersepeda lagi seperti dulu, lalu kita berenang. Aku sudah pandai berenang, tidak akan kalah lagi seperti saat masih kecil.
Ayah, makanlah yang banyak, agar selalu sehat, lalu kita makan berdua di warung soto kecil favorit kita di pinggiran Jalan Raden Wijaya, sambil bercerita tentang rumah di masa depan.