Friday, September 19, 2014

Dia dan Saya

Dia gemar sekali makan sayur. Dia selalu menerima dengan sukarela bawang dan sayur dari piring makan saya.

Dia yang mengenalkan saya pada sepeda dan kereta api. Tapi dia pelit, tidak pernah mau mengajari saya bermain catur.

Sampai sekarang, dia tidak pernah lepas dari sapu tangan di saku bajunya, sapu tangan tipis bermotif kotak-kotak.

Dia selalu bertahan dengan leluconnya yang berulang-ulang. Seringkali saya dapat dengan mudah menebak akhir leluconnya.

Dulu dia suka memotret saya, setiap saya tertawa dengan mata yang hanya nampak segaris.

Dia, yang punya mata sipit, sama seperti saya.
Dia, yang semakin hari semakin mengurus.
Dia, adalah ayah saya.
Ayah saya bukan yang tanpa cela, tetapi beliau adalah kombinasi ayah dan teman yang paling sesuai untuk saya.

Ayah sayang, cepat sembuh ya, gemuklah lagi, kita bersepeda lagi seperti dulu, lalu kita berenang. Aku sudah pandai berenang, tidak akan kalah lagi seperti saat masih kecil. 

Ayah, makanlah yang banyak, agar selalu sehat, lalu kita makan berdua di warung soto kecil favorit kita di pinggiran Jalan Raden Wijaya, sambil bercerita tentang rumah di masa depan.

Tuesday, September 9, 2014

Rumah

Sore lalu, saya mencoba membuat oseng kangkung seperti yang biasa dimasak oleh ibu saya. Bentuk dan warnanya hampir sama. Hanya saja rasanya sedikit berbeda. Hm, mungkin kurang garam. 

Lalu saya mencoba membuat pisang goreng. Meletakkan sepiring pisang goreng hangat di lantai untuk dimakan bersama. Di depan tivi, dengan topik bahasan seputar kucing, makanan, dan tetangga sebelah. Menduplikasi apa yang biasa saya lakukan di rumah bersama adik. Sepiring pisang goreng hangat, sukses mengganjal perut saya yang belum terisi sejak siang. Tapi seperti sedikit pahit, mungkin pisangnya terlalu masak.

Saya mencoba duduk di ruang tengah, di samping teman dekat saya. Kemudian saya banyak bercerita tentang mimpi dan masa lalu, sama seperti cerita saya pada ayah. Saya banyak bicara, si kawan masih terus menyimak. Kami terbahak, lalu selesai. Saya seperti kehabisan cerita. Hm, mungkin ada yang terlewat dari cerita saya.

Saya berada di dalam tempat dengan pintu kayu yang sama, jendela kaca yang serupa, dan lantai yang sama dinginnya. Bahkan saya memasang hiasan dinding yang sama dengan di rumah. Apa yang masih kurang? Mungkin saya belum mendapat aroma rumah. Lalu saya mengganti pewangi ruangan dengan wangi kesukaan ibu saya. Belum berhasil. Saya menyerah.

Saya mencoba menjawab teka-teki lain tentang teras rumah, kudapan sore, dan rumput basah di halaman. Saya berpura-pura tidak tahu dan mulai mencoba untuk tidur. Berharap besok pagi saya bangun dan menemui bahwa saya sudah menamai tempat ini, Rumah.

"Kalau hati mulai sering meracau tidak jelas, emosi mulai mudah tersulut, dan perasaan tenang mulai jarang menghampiri, sepertinya sudah saatnya untuk pulang.."