Monday, September 23, 2013

5 Tempat Paling Nyaman untuk Menghabiskan Usia (versi saya)

Hidup bahagia di usia matang adalah salah satu cita-cita saya. Saya berusaha tidak munafik dengan berkata saya tidak butuh uang, tetapi saya tidak muluk untuk menjadi sangat kaya atau hidup berlebihan. Saya ingin semuanya berjalan imbang, sederhana, sehat jasmani rohani, dan tentunya hidup tentram. Saya ingin tinggal di kota yang nyaman sambil menua nanti. Akan sangat menyenangkan jika mendapat bonus sebuah rumah kayu sederhana di tepian laut dengan kebun kecil di sampingnya. :)

Saya mencoba membuat daftar 5 tempat yang paling nyaman untuk tinggal versi saya. 

5. Makasar
Saya belum pernah menjejakkan kaki di Pulau Sulawesi. Saya ingin sekali merasakan atmosfer bermasyarakat di pulau bagian timur Indonesia ini. Saya ingin berbaur dengan orang-orang baru disana, mengenal kebiasaan-kebiasaan masyarakatnya, dan mengunyah makanan-makanan enaknya setiap hari. Saya belum banyak tahu tentang kota ini, hanya sebatas Pantai Losarinya yang sudah terkenal itu dan kuliner autentiknya yang enak. Namun, sering saya dengar kalau Sulawesi adalah surganya bawah laut. Jadi, kalau saya mulai bosan dengan kota ini, menjelajah Sulawesi lebih jauh sepertinya akan sangat menarik. 

4. Mataram - Lombok
Masih karena keindahan alamnya, saya menaruh kota ini di urutan 4 sebagai kota paling nyaman versi saya. Pulau Lombok yang bisa menyandingi kemahsyuran Bali ini memang indah. Mulai dari pantai-pantainya yang masih alami, perpaduan berbagai kultur yang menarik, sampai eksotisme gunung tertinggi kedua di Indonesia yang memikat. Meskipun alamnya masih alami, bukan berarti pulau ini minim fasilitas. Infrastruktur sudah lama menggeliat, transportasi umum sudah banyak berkembang, akses ke luar pulau juga lebih mudah. Apalagi saat ini sudah banyak penerbangan murah dari Lombok ke Jawa sebagai antisipasi kalau saya merindukan kampung halaman.

3. Bandung
Ada satu hal yang menjadi madu bagi saya untuk tinggal di kota ini, kulinernya. Semua pasti sependapat, Bandung adalah surga makanan enak. Saya berharap hari saya tidak akan membosankan dengan dikelilingi makanan-makanan enak. Selain bisa memanjakan perut, di Bandung saya juga bisa menjaga mata saya tetap segar dengan banyak mengunjungi wisata-wisata alamnya yang indah. Kota ini dikelilingi gunung-gunung yang siap memberi saya pasokan udara segar setiap saat.

Saya suka dengan orang-orang berpikiran kreatif, dan mereka ada di Bandung. Saya berpikir bahwa kota ini akan selalu menarik dengan banyak hasil otak kreatif masyarakat Bandung. Di kota kembang ini juga banyak orang-orang pintar datang dari penjuru tanah air untuk menuntut ilmu. Paling tidak bermasyarakat di kota ini akan terasa lebih nyaman dibanding Jakarta yang penuh sesak dengan orang-orang individualis.  

2. Bali
Pulau yang menjadi primadona wisata di Indonesia ini memang selalu menarik perhatian saya. Karena saya adalah pecinta pantai dan selalu terobsesi untuk menghabiskan masa tua saya di daerah pesisir pantai, saya sempat meletakkan Bali di urutan jawara. Namun, karena saya merasa sedikit kesulitan mencari makanan halal dan tempat ibadah di tempat ini, maka saya menggesernya ke urutan kedua. Di luar semua itu, saya tetap mengagumi semua eksotisme Bali. Mulai dari jajaran pantainya yang indah, dataran tingginya yang nyaman, sampai seni dan kulturnya yang masih melekat kuat di masyarakat. Bahkan saya cukup senang hanya dengan mendengarkan alunan musik khas Bali, sebuah hiburan auditif sederhana.

1. DIY Jogjakarta
Seperti namanya, kota ini memang istimewa. Istimewa dengan segala daya tariknya. Ya, saya mencintai kota ini dalam paket lengkapnya. Di kota ini saya bisa menyambangi pantai-pantai cantik di Gunung Kidul setiap saat saya mau. Selain itu saya hanya perlu beranjak beberapa kilometer dari kota ini saat rindu udara gunung yang menyegarkan paru-paru saya. Di kota ini pula nilai-nilai sejarah dan kebudayaan masih terasa hangat. Dan semuanya itu beradu sangat cantik dengan masyarakatnya yang ramah. Medhok jawa kalem yang menjadi identitas masyarakatnya ini serasa lebih mudah mengakrabkan saya dengan penduduk asli, sangat berbeda dengan logat Suroboyo yang terkesan sedikit kasar.

Banyak hal yang menarik hati saya untuk menetap di Kota Keraton ini. Saya suka dengan makanan-makanan murahnya yang enak, saya suka jalanannya yang masih teratur, dan saya suka sekali hidup berdampingan dengan orang-orang terpelajar dari penjuru negri yang menuntut ilmu di Jogjakarta. Fasilitas transportasi umum di kota ini juga cukup memadai, mulai dari bus transjogja yang nyaman sampai becak tradisional yang banyak tersebar di seluruh kota. Dan, untuk orang dengan kebutuhan modernitas yang tidak terlalu tinggi seperti saya, Amplas dan jajaran department store di Malioboro sepertinya sudah cukup.

Di kota dengan tingkat kebahagiaan penduduk paling tinggi ini, saya merasa tentram, bahkan hanya dalam kesederhanaan. Saya merasa benar-benar ada di rumah, rumah sebagai tempat saya selalu ingin pulang dan merasa nyaman meskipun tidak berbuat apa-apa. Katakanlah saya sedang bosan dan tidak tahu harus berbuat apa, maka duduk manis di alun-alun Kota Jogja di malam hari akan menjadi pilihan yang menarik. Yah, saya ingin menua di Jogja..
 
 "Saat kita sibuk mengejar kebahagiaan, sebenarnya kita tidak sadar bahwa saat itu kita sedang tidak bahagia."

Saturday, September 7, 2013

Menginjak Tanah Sumatra

Tanggal 19 Agustus lalu saya resmi menjejakkan kaki di Pulau Sumatra untuk pertama kali. Masih abu-abu antara yakin dan tidak, saya akan memutuskan tinggal di Palembang untuk waktu yang cukup lama. Banyak hal yang membuat saya ragu untuk bermasyarakat di sini. Dan, hanya 2 hal yang menahan saya untuk tetap di sini, karena orang tua saya, dan keinginan saya untuk mencicipi sesuatu yang baru. Kalau ini menjadi batas aman saya, saya merasa keputusan saya masih di dalam lingkaran aman itu. Di kota ini mungkin saya menemukan banyak hal baru, tapi beriringan dengan waktu, semuanya menjadi hal biasa. Saya akan hidup dengan rutinitas, dengan keadaan sehari-hari yang berfluktuasi rendah. Yah, saya benar-benar masih di zona aman saya, masih dikelilingi dengan kenyamanan, hal-hal repetitif dan minim resiko, menurut saya. Saya tidak tahu apakah ini sudah sepadan dengan keputusan saya hidup terlalu jauh dari kedua orang tua saya yang semakin menua. Ah, kenapa tulisan ini menjadi melankolis. Saya menulis tentang Palembang saja lah, salah satu kota (cukup) besar di Pulau Sumatra tempat saya mengais rejeki saat ini.

***

Palembang dalam sekilas saya, adalah kota yang panas, sederhana, dan sedikit kurang teratur. Panas sangat menyengat di siang hari, sederhana karena masih jauh dari kemegahan kota-kota besar di Pulau Jawa, dan tidak teratur oleh aktivitas para pengguna jalan juga lalu lintas yang semrawut. Saya cukup terganggu untuk poin yang terakhir. Jalanannya kurang tertata dengan rapi. Banyak mobil dan angkot yang ngawur. Tak jarang pula saya temukan pengendara tanpa helm yang melenggangkan motornya dengan santai di jalan yang ramai.

Saat pertama kali menginjak tanah Sriwijaya, angin malam yang hangat menerpa wajah, mengingatkan saya dengan Surabaya. Saya baru beberapa hari di Palembang dan sudah sedikit merasakan atmosfer kota ini. Orang palembang berbicara dengan lantang, dengan ritme yang cenderung lebih cepat, dan logat yang cukup khas. Bahasa yang digunakan tidak jauh berbeda dengan bahasa nasional kita. Kebanyakan hanya mengubah huruf "a" menjadi "o" di akhir kata, seperti lima menjadi limo dan dimana menjadi dimano.

Dengan mencicipi pem-pek, mengunjungi Jembatan Ampera dan Jakabaring, serta solat di Masjid Agung, saya sudah resmi mengunjungi Palembang sepenuhnya. Dan, hingga saya membuat tulisan ini, belum ada hal yang menarik hati saya untuk tinggal cukup lama di kota ini. Semuanya nampak sangat biasa, seperti dugaan saya. Beruntung di sini saya bertemu dengan banyak orang menyenangkan dan sangat pintar yang membuat saya kerasan.

Sependek pengetahuan saya, kota Palembang baru menggeliat beberapa tahun terakhir saat didaulat menjadi tuan rumah Sea Games ke 26. Sebelumnya kota ini masih jauh dari gambaran sebuah kota besar. Sekarang, infrastruktur banyak diperbaiki, sarana umum dibuat semakin nyaman, dan telah banyak dibangun tempat yang mewadahi kebutuhan para golongan menengah atas menghabiskan waktu senggang. Kota yang semakin maju, tidak selalu bersinonim dengan tingkat kenyamanan masyarakatnya. Aksi kejahatan tampaknya masih rutin terjadi. Di Palembang, mengeluarkan komputer tablet atau smartphone di pinggir jalan menjadi hal yang sangat tidak disarankan. Pisau bisa kapan saja menusuk perut anda jika tidak hati-hati. Bahkan, pelaku kriminal di Jakarta juga banyak berasal dari Palembang. Hmm..

Tiga minggu di sini saya sudah beberapa kali keluar masuk pusat perbelanjaan untuk melengkapi kebutuhan pindahan saya yang masih kurang. Mulai dari mall, jajaran kios grosiran, sampai pasar tradisional sudah saya kunjungi. Di hari ini saja saya sudah menyusuri 2 pasar tradisional yang berbeda. Kesannya sama, penjual di sini tidak terlalu ramah. Pun ada beberapa yang ramah, berasal dari Pulau Jawa atau belahan Sumatra yang lain. Saya sempat kena marah oleh beberapa penjual di pasar Lemabang hanya karena bingung menjawab pertanyaan dari mereka. Saya kaget dan sangat kikuk. Saya jadi merasa tidak nyaman saat menego si penjual agar menurunkan tawaran harganya. Saya temukan juga bahwa banyak pembeli di pasar yang tidak kalah sinis dan kasar.

Tak hanya di pasar tradisional, saya juga menemukan orang-orang serupa di pusat belanja modern seperti Palembang Square (PS), Palembang Trade Center (PTC), dan Palembang Indah Mall (PIM). Banyak orang yang enggan mengantri, tak acuh dengan yang lain, dan sedikit tidak sopan. Saya sempat mendapat sindiran dari ibu-ibu muda saat saya beruntung mendapat pelayanan lebih dulu di sebuah toko roti. Ditambah lagi gerombolan remaja yang tanpa sungkan menyerobot antrian, mendesak dengan tak acuh orang-orang di depan kasir. Homo homini lupus. Benar-benar menghilangkan selera saya pada sepotong roti keju yang baru saya beli. 

Satu hal lagi yang membuat saya ragu menetap di sini, Palembang sangat jauh dari pantai. Kalau boleh jujur, hal itu cukup mengganggu pikiran saya. Baiklah, saya berlebihan, tapi beberapa hari di Palembang sudah membuat saya kangen dengan pasir tepi laut. Dasar otak saya, rentan tersugesti dengan pikiran-pikiran manja khas anak kecil.

Di luar sudut pandang manja saya, Palembang masih punya daya tarik. Saya suka pem-pek, lenggang, dan es kacang merahnya. Selama perut ini masih banyak terisi makanan enak, kota semonoton apapun akan tetap menarik untuk saya. Di luar urusan perut, saya juga merasa nyaman dengan masyarakat Palembang yang cenderung lebih religius dibanding masyarakat kota asal saya. Paling tidak di sini saya bisa mencoba memperbaiki pribadi saya yang, begitulah. Mengamini juga tentang teori-orang-baik-ada-dimana-mana, saya bertemu dengan orang-orang baik asli Palembang yang banyak menolong saya di sini. Meskipun masih dengan cara bicara yang lantang, mereka ikhlas membantu orang-orang baru seperti saya.

Palembang dengan segala sisinya, akan menjadi tempat saya menghabiskan hari, setidaknya untuk beberapa tahun ini. Apapun bisa terjadi. Dan, saya sedang menunggu si "apapun" itu terjadi.

"Saya tidak punya cukup uang untuk membeli masa tua saya, dan saya tidak punya cukup nyali untuk membeli masa muda saya."