Tanggal 19 Agustus lalu saya resmi menjejakkan kaki di Pulau Sumatra untuk pertama kali. Masih abu-abu antara yakin dan tidak, saya akan memutuskan tinggal di Palembang untuk waktu yang cukup lama. Banyak hal yang membuat saya ragu untuk bermasyarakat di sini. Dan, hanya 2 hal yang menahan saya untuk tetap di sini, karena orang tua saya, dan keinginan saya untuk mencicipi sesuatu yang baru. Kalau ini menjadi batas aman saya, saya merasa keputusan saya masih di dalam lingkaran aman itu. Di kota ini mungkin saya menemukan banyak hal baru, tapi beriringan dengan waktu, semuanya menjadi hal biasa. Saya akan hidup dengan rutinitas, dengan keadaan sehari-hari yang berfluktuasi rendah. Yah, saya benar-benar masih di zona aman saya, masih dikelilingi dengan kenyamanan, hal-hal repetitif dan minim resiko, menurut saya. Saya tidak tahu apakah ini sudah sepadan dengan keputusan saya hidup terlalu jauh dari kedua orang tua saya yang semakin menua. Ah, kenapa tulisan ini menjadi melankolis. Saya menulis tentang Palembang saja lah, salah satu kota (cukup) besar di Pulau Sumatra tempat saya mengais rejeki saat ini.
***
Palembang dalam sekilas saya, adalah kota yang panas, sederhana, dan sedikit kurang teratur. Panas sangat menyengat di siang hari, sederhana karena masih jauh dari kemegahan kota-kota besar di Pulau Jawa, dan tidak teratur oleh aktivitas para pengguna jalan juga lalu lintas yang semrawut. Saya cukup terganggu untuk poin yang terakhir. Jalanannya kurang tertata dengan rapi. Banyak mobil dan angkot yang ngawur. Tak jarang pula saya temukan pengendara tanpa helm yang melenggangkan motornya dengan santai di jalan yang ramai.
Saat pertama kali menginjak tanah Sriwijaya, angin malam yang hangat menerpa wajah, mengingatkan saya dengan Surabaya. Saya baru beberapa hari di Palembang dan sudah sedikit merasakan atmosfer kota ini. Orang palembang berbicara dengan lantang, dengan ritme yang cenderung lebih cepat, dan logat yang cukup khas. Bahasa yang digunakan tidak jauh berbeda dengan bahasa nasional kita. Kebanyakan hanya mengubah huruf "a" menjadi "o" di akhir kata, seperti lima menjadi limo dan dimana menjadi dimano.
Dengan mencicipi pem-pek, mengunjungi Jembatan Ampera dan Jakabaring, serta solat di Masjid Agung, saya sudah resmi mengunjungi Palembang sepenuhnya. Dan, hingga saya membuat tulisan ini, belum ada hal yang menarik hati saya untuk tinggal cukup lama di kota ini. Semuanya nampak sangat biasa, seperti dugaan saya. Beruntung di sini saya bertemu dengan banyak orang menyenangkan dan sangat pintar yang membuat saya kerasan.
Sependek pengetahuan saya, kota Palembang baru menggeliat beberapa tahun terakhir saat didaulat menjadi tuan rumah Sea Games ke 26. Sebelumnya kota ini masih jauh dari gambaran sebuah kota besar. Sekarang, infrastruktur banyak diperbaiki, sarana umum dibuat semakin nyaman, dan telah banyak dibangun tempat yang mewadahi kebutuhan para golongan menengah atas menghabiskan waktu senggang. Kota yang semakin maju, tidak selalu bersinonim dengan tingkat kenyamanan masyarakatnya. Aksi kejahatan tampaknya masih rutin terjadi. Di Palembang, mengeluarkan komputer tablet atau smartphone di pinggir jalan menjadi hal yang sangat tidak disarankan. Pisau bisa kapan saja menusuk perut anda jika tidak hati-hati. Bahkan, pelaku kriminal di Jakarta juga banyak berasal dari Palembang. Hmm..
Tiga minggu di sini saya sudah beberapa kali keluar masuk pusat perbelanjaan untuk melengkapi kebutuhan pindahan saya yang masih kurang. Mulai dari mall, jajaran kios grosiran, sampai pasar tradisional sudah saya kunjungi. Di hari ini saja saya sudah menyusuri 2 pasar tradisional yang berbeda. Kesannya sama, penjual di sini tidak terlalu ramah. Pun ada beberapa yang ramah, berasal dari Pulau Jawa atau belahan Sumatra yang lain. Saya sempat kena marah oleh beberapa penjual di pasar Lemabang hanya karena bingung menjawab pertanyaan dari mereka. Saya kaget dan sangat kikuk. Saya jadi merasa tidak nyaman saat menego si penjual agar menurunkan tawaran harganya. Saya temukan juga bahwa banyak pembeli di pasar yang tidak kalah sinis dan kasar.
Tak hanya di pasar tradisional, saya juga menemukan orang-orang serupa di pusat belanja modern seperti Palembang Square (PS), Palembang Trade Center (PTC), dan Palembang Indah Mall (PIM). Banyak orang yang enggan mengantri, tak acuh dengan yang lain, dan sedikit tidak sopan. Saya sempat mendapat sindiran dari ibu-ibu muda saat saya beruntung mendapat pelayanan lebih dulu di sebuah toko roti. Ditambah lagi gerombolan remaja yang tanpa sungkan menyerobot antrian, mendesak dengan tak acuh orang-orang di depan kasir. Homo homini lupus. Benar-benar menghilangkan selera saya pada sepotong roti keju yang baru saya beli.
Satu hal lagi yang membuat saya ragu menetap di sini, Palembang sangat jauh dari pantai. Kalau boleh jujur, hal itu cukup mengganggu pikiran saya. Baiklah, saya berlebihan, tapi beberapa hari di Palembang sudah membuat saya kangen dengan pasir tepi laut. Dasar otak saya, rentan tersugesti dengan pikiran-pikiran manja khas anak kecil.
Di luar sudut pandang manja saya, Palembang masih punya daya tarik. Saya suka pem-pek, lenggang, dan es kacang merahnya. Selama perut ini masih banyak terisi makanan enak, kota semonoton apapun akan tetap menarik untuk saya. Di luar urusan perut, saya juga merasa nyaman dengan masyarakat Palembang yang cenderung lebih religius dibanding masyarakat kota asal saya. Paling tidak di sini saya bisa mencoba memperbaiki pribadi saya yang, begitulah. Mengamini juga tentang teori-orang-baik-ada-dimana-mana, saya bertemu dengan orang-orang baik asli Palembang yang banyak menolong saya di sini. Meskipun masih dengan cara bicara yang lantang, mereka ikhlas membantu orang-orang baru seperti saya.
Palembang dengan segala sisinya, akan menjadi tempat saya menghabiskan hari, setidaknya untuk beberapa tahun ini. Apapun bisa terjadi. Dan, saya sedang menunggu si "apapun" itu terjadi.
"Saya tidak punya cukup uang untuk membeli masa tua saya, dan saya tidak punya cukup nyali untuk membeli masa muda saya."
No comments:
Post a Comment