Thursday, April 24, 2014

Batu dan Air

Malam hari di tahun 2013, di akhir musim penghujan. Hanya ada saya dan Ibu.

Saya : Tidak selalu di balik gunung, Ibu, bisa di pesisir pantai.
Ibu    : Iya..
Saya : Kalau hanya sekedar sinyal telepon, jaman sekarang sudah banyak yang bisa menembus daerah terpencil.
Ibu    : Iya..
Saya : Listrik tidak sesulit yang dibayangkan, Bu.
Ibu    : (hanya mengangguk)
Saya : Bolehkah?
Ibu    : Maaf, Kak. Tidak.
Saya : Hanya satu tahun, Ibu. Setelah itu aku akan kembali ke rumah, dengan banyak sekali cerita yang menurutku akan menarik.
Ibu    : Masih banyak hal menarik selain disana, Kak.
Saya : Aku tidak masalah dengan hidup seperti itu, Bu. Aku akan bertahan.
Ibu    : (dengan suara lirih dan bergetar, saya hampir tidak bisa mendengarnya) Ibu yakin Kakak akan bertahan. Tapi Ibu tidak yakin apakah Ibu bisa bertahan, jika akhirnya Kakak masih berkeras pergi.

Lidah saya beku. Seperti ingin memaki diri saya sendiri. Ternyata saya terlampau egois.

Thursday, April 10, 2014

Teruntuk Sang 'Backpacker'

Kini, istilah backpacker menjadi sangat populer. Banyak orang yang menasbihkan dirinya sebagai seorang backpacker. Saya sendiri masih sulit mengklasifikasikan antara traveler dan backpacker. Ada yang mengaku sebagai backpacker tapi tidak suka berjalan tanpa itinerary yang jelas. Berlabel backpacking, tapi cerewet soal penginapan. Lalu, apa bedanya dengan traveler pada umumnya? Karena menurut saya, backpacking bukan hanya sekedar tentang memanggul tas punggung yang besar, tetapi juga bagaimana cara seseorang menikmati perjalanannya, bersikap dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Anggaplah itu pemahaman pendek saya sebagai seseorang yang mengagumi para backpacker.

Saya sedikit kesal dengan para backpacker (jadi-jadian) yang masih saja membuang sampah sembarangan, masih membuat tulisan-tulisan vandalisme, dan masih merusak tumbuhan di hutan. Alasannya cukup mengesalkan, kami hanya penikmat alam, bukan pecinta alam. Hei, apa kabar dengan anak cucu kita nanti? Saya yang bukan seorang backpacker atau pun pecinta alam, masih sempat berfikir bahwa generasi berikutnya punya hak yang sama untuk menikmati beningnya laut dan segarnya udara gunung. Maka, teruntuk para penikmat alam, kasihanilah alam kita ini, setidaknya untuk anak cucu anda sendiri.

Tuesday, April 8, 2014

Salam Manis dari Pulau Pahawang


Sudah lama saya tidak menginjak pasir pantai, sampai lupa kapan terakhir kali kulit saya menghitam. Jumat bertanggal merah di bulan Januari lalu resmi memberangkatkan saya dan beberapa kawan ke Pulau Pahawang, Lampung. Dengan kereta Rajabasa, saya menempuh perjalanan selama hampir 10 jam untuk mencapai Bandar Lampung. Perjalanan disambung dengan menyewa angkot ke Pelabuhan Ketapang. Dari pelabuhan Ketapang saya dan rombongan menyewa kapal nelayan untuk menyeberang ke Pulau Pahawang Besar. Sebelum ke sana, kami mampir ke Pulau Mai Itam untuk snorkling. Yes! Akhirnya saya kembali merasakan asinnya air laut.

Spot yang saya temui di Mai Itam tidak terlalu bagus. Masih banyak pasir yang sering mengganggu penglihatan. Ikan-ikannya juga tidak terlalu banyak. Hanya ada beberapa bintang laut berwarna biru dan bulu babi. Tapi siapa yang peduli dengan semua itu, mengambang di laut saja saya sudah sangat girang.

Menjelang dzuhur, kami segera menuju ke Pulau Pahawang Besar untuk bersiap solat Jumat di satu-satunya masjid di pulau tersebut. Kami membersihkan diri di rumah Pak Arsali, pemilik kapal sekaligus pemilik rumah yang kami tumpangi. Sembari menunggu yang lain solat Jumat, saya menikmati kelapa muda di teras rumah ditemani angin sepoi-sepoi. Hmm, ada yang lebih nikmat?
***

Pulau Pahawang Besar hanya dihuni beberapa puluh keluarga yang hampir seluruhnya menggantungkan hidup dari hasil laut. Bangunan rumahnya sederhana dan hampir seragam. Seluruh rumah dibangun sendiri oleh penduduk pulau dengan gotong royong. Listrik bersumber dari tenaga matahari dan hanya mengalir di malam hari, itu pun sangat terbatas. Meski begitu, pulau ini sudah memiliki sekolah dasar dan menengah. Di ujung pulau terdapat sebuah vila kayu milik Mr. Joe, seorang pengusaha parfum asal Perancis. Di depan vila terhampar pulau kecil yang beberapa tahun lalu juga resmi menjadi pulau pribadi si bule Perancis.

Istri Pak Arsali banyak bercerita tentang si bule pemilik pulau. Tentang kebaikannya pada penduduk, tentang pesta akhir tahunnya di pulau, hingga tentang istri-istrinya yang tersebar di banyak tempat. Si ibu juga banyak bercerita tentang anak-anaknya, yang sudah bosan main di laut dan lebih senang main di waterpark yang letaknya sangat jauh di pulau seberang.
 
Saya suka sekali menggoda anak sulung si ibu, juga temannya yang tambun. Lucu dan polos. Ah, saya lupa namanya. Mereka bisa menyelam bebas sampai kedalaman 10 meter. Sangat keren menurut saya untuk ukuran anak SD. Jangankan menyelam bebas, berenang di laut dengan kedalaman 5 meter saja saya masih ngeri.
***

Sore hari saya sempatkan mampir ke salah satu pulau gosong di gugusan Pulau Pahawang. Bagus, tapi cukup ramai. Saya hanya menyusuri pasirnya yang kasar karena bercampur pecahan koral. Bersama gerimis, saya betah sekali duduk di atas pasir menikmati lanskap sore di Pahawang. Karena hujan mulai lebat, kami memutuskan untuk berteduh ke kapal dan kembali ke rumah.
The gals
The guys
Sampai di dermaga, hujan masih belum reda. Ah, saya melewatkan momen berenang bersama anak lokal. Biasanya mereka suka bermain di dermaga saat sore. Yah, mungkin di kesempatan lain.

Malamnya, kami bakar ikan yang langsung dibeli saat nelayan pulang dari laut. Sangat segar dan tentu sangat murah. Jangan ditanya bagaimana rasanya. Saya tidak berhenti mengunyah. Perut saya penuh berisi ikan dan cumi bakar malam itu.

Merasa terlalu sore untuk tidur, saya memasang muka melas mengajak untuk main ke dermaga. Menggelar tikar, berbaring, dan hanya mengobrol hahahihi. Salah satu saat favorit saya, berbaring melihat bintang di tepi laut. Tidak berbuat apa-apa, sampai mengantuk.

Keesokan harinya, saya berniat mengejar sunrise. Kata si ibu matahari terbit bisa tampak jelas di ujung timur pulau. Hanya perlu berjalan selama 20 menit dari rumah. Melewati vila kayu si juragan parfum, saya menuju ke tempat yang diceritakan si ibu. Ah, lagi-lagi kurang beruntung. Saya telat. Matahari sudah menyembul naik. Salah saya tidak berangkat lebih pagi. Oke, mungkin di kesempatan lain, untuk membalaskan dua 'dendam' yang belum tersampaikan.
Pagi di Pahawang
Setelah sarapan, saya dan rombongan menuju kebun buah naga yang terletak di sisi barat pulau. Di sana saya bisa makan buah naga sepuasnya! Gratis! Pas sekali dimakan saat matahari terik. Mata saya terasa segar melihat deretan pohon serupa kaktus dengan buah berwarna merah menggantung. Ranum. Segera mengingatkan tentang mimpi saya memiliki kebun anggur atau buah naga sendiri.

Dengan perut penuh, kami segera menuju spot snorkling. Setelah beberapa kali pindah, perahu kami berhenti di salah satu spot yang bagus. Kali ini tidak mengecewakan. Terumbu karangnya berwarna-warni. Ikan bersliweran tanpa sungkan di sekitaran saya, termasuk ikan badut, si pemeran utama di film animasi Finding Nemo. Saya bisa bermain dengan si ikan narsis ini sampai bosan.

Saat matahari hampir di atas kepala, saya dan rombongan kembali ke rumah untuk makan siang dan berkemas. Saat-saat tidak menarik, berkemas untuk pulang. Tidak bisakah saya melewatkan hal membosankan itu dan tetap berada di liburan ini? Hm..

Saya berjalan pelan di atas dermaga menuju kapal, memandangi anak-anak lokal yang sedang bermain bola. Melihatnya, membuat tas punggung saya terasa berat. Tidak lupa saya menabur rindu di pasir putih pantai, yang suatu saat akan saya sambangi kembali. Bukan selamat tinggal untuk pulau ini, hanya sampai jumpa.

(foto oleh Eko)
Pada akhirnya, semua itu akan menjadi sesuatu yang manis. Paling tidak untuk saya sendiri. Selain dengan sekantong penuh kripik pisang khas Lampung, saya pulang dengan mengantongi banyak cerita bertopik pantai. Apa sih yang tidak menarik dari sebuah pantai? Hahaha.

Wednesday, April 2, 2014

Mencoba Beradaptasi dengan Jalanan Palembang

Dulu, saat di Banyuwangi, saya sering heran dengan pengguna jalan yang luwes menerobos lampu merah. Sekarang, adegan seperti itu sudah menjadi pemandangan saya setiap hari di Palembang. Malah saya terlihat cupu dengan menjadi satu-satunya pengendara yang berhenti saat lampu merah di perempatan Pasar Lemabang. Saya sampai mengira kalau tingkat penderita buta warna di kota ini sangat tinggi. Supir angkot di sini juga suka sekali mengkombinasikan kecepatan tinggi dan rem mendadak sepanjang perjalanan trayeknya. Naik angkot rasanya mirip dengan naik jet coaster di taman hiburan.

Di Surabaya, masyarakat 'dipaksa' untuk tertib lalu lintas. Jangankan menerobos lampu merah, mengganggu lajur lain saja (lajur ya, bukan jalur) sudah dicegat polisi. Entah itu disebut tertib atau bapak polisinya yang memang gencar mencari 'mangsa'. Paling tidak, dampak positifnya jalanan Surabaya jadi sedikit lebih teratur, dengan catatan, saat banyak polisi yang bertebaran di jalan.

Apakah di Palembang berkendara seenak hati itu seperti penyakit turunan yang sulit disembuhkan? Atau semacam penyakit menular, sampai-sampai teman-teman dari luar Palembang pun sekarang mulai suka menerobos lampu merah. Hah, jangan sampai hidup lama di Palembang membuat lobus occipital saya membengkak sampai tidak bisa membedakan warna merah, kuning, dan hijau di perempatan jalan.