Dulu, saat di Banyuwangi, saya sering heran dengan pengguna jalan yang luwes menerobos lampu merah. Sekarang, adegan seperti itu sudah menjadi pemandangan saya setiap hari di Palembang. Malah saya terlihat cupu dengan menjadi satu-satunya pengendara yang berhenti saat lampu merah di perempatan Pasar Lemabang. Saya sampai mengira kalau tingkat penderita buta warna di kota ini sangat tinggi. Supir angkot di sini juga suka sekali mengkombinasikan kecepatan tinggi dan rem mendadak sepanjang perjalanan trayeknya. Naik angkot rasanya mirip dengan naik jet coaster di taman hiburan.
Di Surabaya, masyarakat 'dipaksa' untuk tertib lalu lintas. Jangankan menerobos lampu merah, mengganggu lajur lain saja (lajur ya, bukan jalur) sudah dicegat polisi. Entah itu disebut tertib atau bapak polisinya yang memang gencar mencari 'mangsa'. Paling tidak, dampak positifnya jalanan Surabaya jadi sedikit lebih teratur, dengan catatan, saat banyak polisi yang bertebaran di jalan.
Apakah di Palembang berkendara seenak hati itu seperti penyakit turunan yang sulit disembuhkan? Atau semacam penyakit menular, sampai-sampai teman-teman dari luar Palembang pun sekarang mulai suka menerobos lampu merah. Hah, jangan sampai hidup lama di Palembang membuat lobus occipital saya membengkak sampai tidak bisa membedakan warna merah, kuning, dan hijau di perempatan jalan.
No comments:
Post a Comment