Sejak kecil saya adalah penggemar pantai. Karena belum banyak pantai yang saya kunjungi, sampai sekarang saya masih berkeinginan untuk menyambangi lebih banyak pantai. Saya juga lumayan terobsesi untuk mempunyai sebuah rumah kayu sederhana di tepi pantai. Bahkan kalau sedang sakaw ingin ke pantai, duduk lah saya di tepian kenjeran dengan ditemani secangkir kopi. Yaa..meskipun menurut saya kenjeran sangat jauh dari deskripsi sebuah pantai, tak apalah yang penting saya bisa melihat air laut.
Kalau ditanya di mana pantai favorit saya, yang muncul dalam pikiran saya adalah sebuah pantai tersembunyi di pulau Sempu, Segara anakan. Yap, saya sudah menjatuhkan hati saya di sana sejak pertama kali datang. Saya baru dua kali datang ke Segara Anakan, dan selalu ingin kembali ke sana. Karena hari ini saya kangen sekali dengan pantai di ujung selatan Kabupaten Malang ini, maka saya buat lah postingan ini. Sebenarnya saya sedikit merasa berdosa kalau bercerita tentang Sempu karena pulau ini adalah salah satu kawasan cagar alam yang tidak bisa sembarangan dikunjungi. Namun, anggaplah saya hanya bercerita tentang pengalaman jatuh cinta saya pada pulau ini. Hahaha. Sama saja. Menurut saya pribadi, tak apalah mengunjungi pulau ini kalau hanya sekedar ingin menikmati keindahannya, asal tidak sampai melakukan hal-hal berbau vandalisme yang bisa membuat pulau ini tidak menarik lagi.
***
Sempu adalah sebuah pulau di Malang selatan yang dapat dicapai dengan menggunakan perahu motor selama 10 menit dari Pantai Sendang Biru. Setelah sampai di Pulau Sempu, untuk mencapai Pantai Segara Anakan masih harus melewati jalan setapak sepanjang 1,5 km di tengah hutan yang hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Saat musim kering, jalan bisa ditempuh dalam waktu 1-2 jam. Namun, akan diperlukan waktu 2 sampai 4 jam lebih lama jika ke sana saat musim hujan, bisa ditambahkan sendiri ya waktu tempuhnya. Waktu pertama kali ke sana bersama teman-teman saya (Mas Didi, Mas Rizki, Ima, Rosita, dan Mas Rudy) di awal tahun 2011, kebetulan di tengah-tengah musim hujan. Alhasil, kami membutuhkan waktu tak kurang dari 5 jam untuk sampai di Segara Anakan. Anggaplah saya berlebihan, tapi pada saat itu memang medannya sangat berat. Jalan di hutan sangat licin karena air hujan di tanah belum mengering. Belum lagi kubangan-kubangan air berwarna coklat yang menyembunyikan akar-akar pohon atau batuan karang di dalamnya. Kalau salah melangkah, bisa-bisa terpeleset atau bahkan terkena batu karang yang tajam di dalam kubangan. Sialnya, saya berkali-kali terpeleset sampai-sampai telapak kaki kanan saya robek kena goresan karang. Sebenarnya bisa si pakai sepatu biar lebih aman, tapi harus sepatu khusus mendaki. Kalau pakai sepatu sneakers biasa seperti saya, nasibnya pasti sama, harus bertelanjang kaki dengan sepatu penuh lumpur menggantung tak berguna. Keadaan tak akan bertambah parah kalau saya menyeberang tidak terlalu sore. Saat itu saya baru menyeberang pukul setengah 5, mau tak mau harus melewati hutan dengan sumber cahaya yang terbatas. Waktu itu kami hanya bawa 4 senter untuk 6 orang. Alhasil kami hanya bisa berjalan pelan-pelan dan memastikan tidak ada teman yang terpisah tanpa berpikir bahwa kami ada dalam hutan yang sama dengan gerombolan harimau yang bisa datang kapan saja. Tapi tenang saja, bertemu dengan harimau di sini adalah kejadian yang sangat langka.
Serius ya, berjalan di tengah hutan dalam kegelapan itu bukan hal yang mudah, menurut saya. Beban di pundak lumayan berat membawa bekal air tawar, tangan dan kaki penuh lumpur, dan tentu saja saya lapar. Perut hanya bisa diganjal dengan roti karena medan tidak memungkinkan untuk membuat makanan bahkan untuk sekedar memasak air. Sepanjang perjalanan saya berkali-kali berpikir, "What am I doing here?". Tapi ya sudahlah, saya sudah sejauh dan sekotor ini. Mau pulang pun rasanya tidak ikhlas.
Hal yang paling menarik dari perjalanan saya ke Segara Anakan adalah saat harus melewati tepian jurang rendah yang berbatasan langsung dengan laut. Sebelum mencapai pantai, saya harus berjalan melipir di jalanan kecil di pinggir laut yang sangat licin sepanjang 50 meter dengan berpegangan pada ranting dan akar pohon di sekitarnya. Kalau lengah sedikit, bisa terpeleset atau bahkan terjatuh. Beruntung jika jatuh langsung ke air, kalau ke batuan karang? Tapi keadaannya tak akan seseram itu kalau kita lewat di siang hari. Paling tidak kita bisa melihat dengan jelas apa yang ada di depan mata dan apa yang sedang kita pijak.
Setelah melewati bibir jurang yang cukup membuat nafas saya kembang kempis, sekitar pukul 10 malam akhirnya saya sampai di pantai untuk pertama kalinya. Perasaannya seperti apa ya, yang jelas saya lega, saya senang, saya lapar, dan saya kotor. Meskipun saya belum bisa melihat pantainya dengan jelas karena gelap, tapi saya sudah jingkrak-jingkrak ndeso hanya dengan mendengar suara ombak. Satu hal yang saya ingat malam itu adalah bintang di langit Sempu jauh lebih banyak daripada di Surabaya atau di rumah saya.
Sesampainya di pantai, kami langsung membangun tenda dan membuat api. Hanya api dari kompor kecil yang menghangatkan kami. Kalau mau bikin api unggun ya silakan, tapi harap bersihkan bekasnya dan bawa kayu bakar sendiri. Bagaimana pun juga, memotong kayu sembarangan di hutan adalah hal yang merusak. Dan lagi, kalau malas membereskan bekas api unggun, dosanya ditanggung sendiri ya.
Tengah malam hujan turun sangat deras sampai subuh. Suara hujan dan gemuruh ombak yang membuat bising malam itu justru seperti meninabobokan saya di atas pasir berlapis terpal yang dingin dan sangat tidak empuk. Perih di telapak kaki sampai tak terasa saking dinginnya. Saya cuma bisa meringkuk dan mengapitkan kedua tangan di ketiak yang hangat. Hahaha. Selang dua jam kemudian, saya terbangun karena baju saya basah kena air hujan. Bagian samping tenda bocor dan langsung merembes ke baju saya. Lumayan lah menambah efek dingin pada tidur saya malam itu.
Menjelang subuh saya terbangun, hanya bisa duduk menghindari air yang semakin banyak mengalir masuk. Setelah hujan mereda, saya keluar tenda untuk mengambil air wudu di laut. Saat itu untuk pertama kalinya saya melihat Segara Anakan tidak dalam keadaan gelap gulita. Saya cuma bisa bilang waw. Air lautnya bening. Pantai ini dan Samudra Hindia hanya dibatasi dengan batuan karang. Di sebelah kiri (maaf saya buta arah) terdapat lubang karang tempat dimana air dari samudra masuk ke laut yang terisolasi ini. Di sekeliling laut hanya ada bukit-bukit karang, tebing, serta hutan di belakang yang sebelumnya sudah saya lewati untuk mencapai pantai ini. Hanya ada warna hijau dan biru di depan mata saya. Tak ada listrik. Tak ada kamar mandi. Sumber air tawar pun sangat jauh dan keruh, terlebih saat musim hujan.
|
Lubang karang |
Dengan naik ke tebing karang yang ada di sebelah kiri, kita bisa melihat Samudra Hindia yang luas dengan ombaknya yang besar. Kalau sedang beruntung bisa melihat gerombolan lumba-lumba berkejaran di laut lepas saat sore. Sayangnya saya kurang beruntung karena harus segera kembali sebelum kemalaman lagi di hutan. Ya...mungkin di kesempatan lain.
|
Samudra Hindia di balik Segara Anakan |
Sebenarnya saya tak rela meninggalkan pantai ini mengingat harus melewati medan yang sama seperti saat berangkat, tapi bekal sudah habis dan saya merasa sangat kotor. Air laut tidak membantu banyak untuk menghilangkan gatal-gatal di badan. Maka pulanglah kami dengan bekal energi hanya dari mie instan. Perjalanan pulang bisa kami tempuh "hanya" dalam 3 jam saja. Cahaya terang memang benar-benar sangat membantu. Tangan kami mulai terampil berpegangan pada ranting pohon. Kaki kami juga sudah telaten untuk memilih tempat berpijak. Tapi yang jelas masih dengan badan yang penuh lumpur.
Eit, tapi lupakan semua cerita saya tentang perjalanan menuju Segara Anakan tadi jika kita ke sana saat musim kemarau. Medannya akan menjadi sangat ramah dan mudah dilewati, tak perlu susah-susah mencari ranting untuk pegangan atau mencari pijakan yang aman. Saat saya mengunjungi Sempu di musim kering, trek yang sama bisa ditempuh hanya dalam waktu 75 menit. Hanya dengan bermodal sendal jepit saya bisa mencapai pantai dengan pakaian masih rapi dan bersih. Tidak ada lagi jalanan yang licin dan mendebarkan. Sama mudahnya dengan berjalan di Tunjungan Plasa dengan bonus sedikit tanjakan dan beberapa pohon yang sudah tumbang di tengah-tengah jalan.
Semua hal yang saya rindukan dari Pulau Sempu, membuat saya selalu ingin kembali lagi ke sana, dengan teman-teman yang menyenangkan, dan tentunya di musim kering. Pantai-pantai di Bali memang sangat indah, tapi pantai ini masih yang paling menarik, menurut saya. Mungkin untuk sebagian orang pantai ini biasa saja, tapi bagi saya yang datang dengan badan penuh lumpur, telapak kaki yang perih, dan perut yang sangat lapar, pantai ini terasa sangat nyaman.
"Saya sangat menyukai pantai tersembunyi ini, karena di tempat ini
saya bisa menemui tiga hal yang paling saya sukai: suara ombak di malam
hari, sinar matahari yang masuk melalui celah-celah dedaunan, dan
gerimis di pagi hari.."