Wednesday, July 31, 2013

Di atas Gerbong Kereta Api Ekonomi

Saya adalah salah satu pelanggan setia kereta api ekonomi. Alasannya jelas, karena aman dan murah. Ayah saya sudah mengenalkan moda transportasi ini sejak saya masih SD. Saat kuliah saya jadi semakin akrab dengan transportasi darat ini. Setiap bulan atau bahkan setiap minggu saya tidak pernah absen menggunakan kereta api untuk pulang ke Mojokerto. Saking seringnya saya naik kereta api, stasiun terasa seperti rumah sendiri. Saya hafal satpam-satpamnya, saya tahu penjual asongannya, dan saya sangat hafal mana mbak-mbak loket yang baik dan yang judes.

Yang menarik dari agenda rutin saya naik kereta api ini adalah, saya bisa menemui banyak hal yang jarang saya temui di rumah atau pun di kampus. Bagi yang belum tahu suasana gerbong kereta api ekonomi, saya akan menggambarkannya sedikit. Di dalam gerbong sering kita temui penumpang yang berdiri karena kehabisan tiket duduk atau memang penumpang nakal yang tidak mengantongi tiket. Suasana gerbong sangat ramai. Tak jarang kita temukan penumpang yang memutar lagu-lagu sejenis ST 12 yang khas dengan irama melayunya, dan tentu saja dengan volume suara yang tidak pelan. Suasana jadi semakin bising dengan suara penjual asongan dan segerombolan pengamen yang menyanyi sambil teriak-teriak.

Membuang sampah di lantai gerbong adalah hal yang dianggap "halal". Ada beberapa penumpang yang menganggap itu tidak baik dan menyarankan untuk membuang sampah ke luar jendela. Yah, menurut saya itu lebih parah daripada membuang sampah di lantai gerbong karena paling tidak sampah di lantai akan dibersihkan petugas dan dibuang di tempatnya. Tapiii, saya juga menemukan kenyataan bahwa ada petugas-petugas "nakal" yang membuang sampah yang sudah terkumpul tadi ke sawah.

Selain kebiasaan buruk membuang sampah, saya juga tak asing dengan penumpang-penumpang yang seenaknya menduduki kursi penumpang lain. Alasannya hanya karena malas cari nomer kursi. Hah. Belum lagi penumpang-penumpang yang doyan sekali menaikkan kaki ke kursi di depannya, dan tak jarang itu adalah kursi saya. Di luar masalah sopan dan tidak sopan ya, sebenarnya itu tidak masalah buat saya. Yang membuat saya sedikit kesal adalah cara ibu-ibu itu menyodorkan kakinya ke kursi saya, tanpa ijin dan bahkan dengan tatapan sinis. Oh Tuhan, salah apa pantat saya??!

Fasilitas di dalam gerbong kereta api juga tak luput dari dampak kebiasaan buruk para penumpang. Mulai dari kursi yang semakin tidak berbentuk, kaca jendela yang sulit dibuka tutup, sampai toilet yang saya-berjanji-tidak-akan-menggunakannya-kalau-tidak-benar-benar-kepepet. Ya..tapi saya tidak berhak protes, itu memang "harga" sebuah tiket kereta ekonomi di Indonesia, kalau mau lebih nyaman ya silakan pilih kelas bisnis atau eksekutif.

Sebenarnya wajah kereta ekonomi tak seseram itu kok. Banyak juga ditemukan orang-orang yang acuh, orang-orang yang menyimpan sampahnya sampai turun dari kereta, orang-orang yang mencari nomor kursinya sampai ke gerbong sebelah, dan orang-orang yang rela duduk separuh pantat demi berbagi kursi dengan penumpang yang berdiri. Tergantung pribadi masing-masing sih ya. Kalau semua penumpang peduli, mungkin angkutan seharga 5000 untuk jarak dekat ini akan terasa lebih nyaman. Kenyataannya di Indonesia, ketidaknyamanan sepertinya selalu melekat pada semua hal yang berlabel ekonomi. Yah..

Friday, July 12, 2013

Hello, Ramadhan!

Thank God it's Ramadhan! Akhirnya saya bertemu lagi dengan bulan 1000 berkah ini, dengan bonus badan yang masih segar dan keluarga yang masih lengkap. Alhamdulillah ya. Meskipun pemahaman saya tentang Ramadhan masih sekitar itu-itu saja, kedatangan bulan ini tetap selalu menarik bagi saya. Dengan usia yang yang sudah berkepala dua ini, saya masih seperti saya saat kecil yang masih dangkal dalam memaknai Ramadhan. Yah, masih sebatas menahan haus dan lapar, memperbanyak munajat, buka puasa bersama, dan sholat tarawih berjamaah. Hal-hal seperti itu saja sudah membuat saya kangen dengan bulan ini. Maklum ya, makan bersama saat sahur dan buka di rumah itu adalah hal yang menyenangkan bagi saya yang jarang sekali makan sekeluarga lengkap. Saya juga selalu menunggu-nunggu momen ngabuburit bersama teman-teman, buka bersama, lalu tarawih bersama. Hal-hal kecil tapi selalu saya tunggu.
 
Saya mulai puasa pada hari Rabu lalu. Kalau ditanya saya menganut aliran Muhammadiyah atau NU, saya sendiri tidak tahu pasti. Yang jelas, saya penganut aliran TVone. Kalau Sidang Isbat yang ditayangkan TVone memutuskan besok puasa, ya mulai lah saya berpuasa pada keesokan hari itu. Saya sendiri tidak ingin mengkotak-kotakkan umat dari agama saya. Baik Muhammadiyah maupun NU, menurut saya semua umat muslim itu sama, dan tidak ada alasan untuk saling menekan. Selebihnya saya tidak tahu banyak. Itu pendapat saya sebagai seorang kroco dalam hal ilmu agama, atau mungkin saya adalah pemain lama, tapi belum bisa berkembang sampai sekarang. Yah..

Tarawih pertama Ramadhan kali ini saya jalani di Masjid Cheng Ho Surabaya dan menjadi kali pertama saya solat tarawih di sana. Kemarin saya menemukan bahwa di masjid yang bergaya Tionghoa ini kita bisa memilih solat tarawih 8 rakaat atau pun 20 rakaat. Setelah 8 rakaat tarawih akan ada solat witir dengan imam yang berbeda. Setelah itu solat tarawih dilanjutkan hingga 20 rakaat beserta witir 3 rakaat. Seperti yang bisa ditebak, jamaah yang bertahan untuk melanjutkan solat tarawih 20 rakaat hanya segelintir orang dari banyak sekali jamaah. Dan sangat bisa ditebak, saya memilih solat witir setelah tarawih sebanyak 8 rakaat. Masjid ini memang multikultural dan benar-benar memfasilitasi "perbedaan" umat Islam. Di luar sesuai atau tidaknya dengan pemahaman Islam yang lebih dalam, saya suka dengan sistem di masjid ini. Seakan semakin menegaskan bahwa masjid ini bukan milik Muhammadiyah atau NU, tapi milik semua umat Islam, masjid yang menjadi favorit saya sejak pertama kali datang beberapa tahun lalu, dan masjid yang menjadi salah satu tempat saya "mengais" takjil gratis. Hehe.

Menyinggung tentang obsesi saya mencari takjil gratis di masjid, saya selalu ingat dengan koleksi cerita saya tentang obsesi ini. Cerita saat saya terjebak macet di jalan sampai akhirnya telat mengantri takjil di Masjid Akbar. Sampai di masjid, jamaah sudah bubar. Akhirnya saya hanya menumpang solat dan memutuskan untuk berbuka di Royal Plaza. Cerita lainnya adalah saat saya tidak tahu cara mengantri takjil di Masjid Asrama Haji. Hasilnya, saya hanya mendapat segelas air putih sambil melongo melihat orang-orang mengantri untuk menukar tiket dengan takjil. Keesokan harinya jelas saya datang lagi dengan bekal "pengetahuan" yang didapat kemarin. Di lain hari pada bulan yang sama saya juga sempat berbuka di sebuah masjid yang tidak sengaja saya kunjungi. Hari itu saya berniat berbuka di sebuah masjid di daerah Klampis atas rekomendasi teman. Namun, karena sampai terdengar adzan magrib saya belum nemu masjidnya juga, mampirlah saya di sebuah masjid kecil di sebuah gang untuk solat maghrib. Eh, malah saya mendapat takjil spesial dari bapak takmir di sana. Terima kasih, Bapak.

Yah, Ramadhan dan pernak-perniknya memang selalu menarik, yang membuat banyak orang merindukannya. Di bulan ini lah kita mendapat banyak berkah. Bulan ini juga yang banyak menguji kesabaran kita sebelum memetik kemenangan pada akhirnya. Selamat datang Ramadhan. Dan, selamat berpuasa! Semoga amal ibadah kita diterima olehNya. Amin Ya Rabb.

"Ramadhan memang banyak menuliskan cerita menarik untuk saya, cerita-cerita yang bisa membuat saya merindukannya"

Sunday, July 7, 2013

Tentang Rumor itu

Beberapa waktu lalu saya sempat makan siang bersama salah satu junior saya semasa kuliah. Sebelumnya saya tak pernah sedekat ini ngobrol dengannya. Selama ini mungkin hanya sekedar say hello atau ngobrol ringan sambil ber-hahahihi. Menurut data yang tersimpan di memori otak saya, adik kelas saya ini adalah seorang gadis yang sangat manja, sombong, egois, dan menyebalkan. Semua opini yang tertanam di pikiran saya itu semuanya saya dapat dari cerita yang banyak beredar di kampus.

Sejak si gadis ini masuk sebagai mahasiswa baru, sudah banyak rumor tak sedap yang bermunculan. Dia yang kata orang telah menjadi "sandungan" salah satu proker di kampus, sering menjadi bahan obrolan publik, yah, termasuk saya. Saya hampir tidak pernah mendengar hal yang baik tentang si gadis. Lama kelamaan rumor-rumor itu tenggelam dengan sendirinya. Time heals. Tapi tetap saja, pandangan saya pada si gadis masih tentang kesombongan dan sifat manjanya. Sampai pada hari itu saya bisa lama ngobrol dengan si gadis, saya jadi sedikit mengenal dia. Di akhir 90 menit saya bersama dia, seketika luntur semua pandangan buruk saya tentangnya. Saya baru menyadari bahwa ternyata dia orang yang baik dan jauh dari sombong. Yah, maafkanlah saya sudah bersu'udzon padamu selama ini.

Saya tidak tahu apakah si gadis sudah berubah atau memang ada yang salah dengan telinga saya selama ini. Kalau saya simpulkan sendiri, mungkin telinga saya yang tak bisa "mendengar" dengan baik. Telinga saya masih belum bisa menyaring apa saja yang masuk ke dalamnya. Kadang hal-hal buruk memang terasa lebih renyah untuk didengarkan, dan sepertinya telinga saya masih sulit menolaknya. Kabar yang jelas-jelas tidak jelas pun saya masih sering percaya. Ckckck.

"Dan yang paling bisa dipercaya adalah indra kita sendiri.."

Tuesday, July 2, 2013

Sempu, I'm in Love

Sejak kecil saya adalah penggemar pantai. Karena belum banyak pantai yang saya kunjungi, sampai sekarang saya masih berkeinginan untuk menyambangi lebih banyak pantai. Saya juga lumayan terobsesi untuk mempunyai sebuah rumah kayu sederhana di tepi pantai. Bahkan kalau sedang sakaw ingin ke pantai, duduk lah saya di tepian kenjeran dengan ditemani secangkir kopi. Yaa..meskipun menurut saya kenjeran sangat jauh dari deskripsi sebuah pantai, tak apalah yang penting saya bisa melihat air laut.

Kalau ditanya di mana pantai favorit saya, yang muncul dalam pikiran saya adalah sebuah pantai tersembunyi di pulau Sempu, Segara anakan. Yap, saya sudah menjatuhkan hati saya di sana sejak pertama kali datang. Saya baru dua kali datang ke Segara Anakan, dan selalu ingin kembali ke sana. Karena hari ini saya kangen sekali dengan pantai di ujung selatan Kabupaten Malang ini, maka saya buat lah postingan ini. Sebenarnya saya sedikit merasa berdosa kalau bercerita tentang Sempu karena pulau ini adalah salah satu kawasan cagar alam yang tidak bisa sembarangan dikunjungi. Namun, anggaplah saya hanya bercerita tentang pengalaman jatuh cinta saya pada pulau ini. Hahaha. Sama saja. Menurut saya pribadi, tak apalah mengunjungi pulau ini kalau hanya sekedar ingin menikmati keindahannya, asal tidak sampai melakukan hal-hal berbau  vandalisme yang bisa membuat pulau ini tidak menarik lagi.
***

Sempu adalah sebuah pulau di Malang selatan yang dapat dicapai dengan menggunakan perahu motor selama 10 menit dari Pantai Sendang Biru. Setelah sampai di Pulau Sempu, untuk mencapai Pantai Segara Anakan masih harus melewati jalan setapak sepanjang 1,5 km di tengah hutan yang hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Saat musim kering, jalan bisa ditempuh dalam waktu 1-2 jam. Namun, akan diperlukan waktu 2 sampai 4 jam lebih lama jika ke sana saat musim hujan, bisa ditambahkan sendiri ya waktu tempuhnya. Waktu pertama kali ke sana bersama teman-teman saya (Mas Didi, Mas Rizki, Ima, Rosita, dan Mas Rudy) di awal tahun 2011, kebetulan di tengah-tengah musim hujan. Alhasil, kami membutuhkan waktu tak kurang dari 5 jam untuk sampai di Segara Anakan. Anggaplah saya berlebihan, tapi pada saat itu memang medannya sangat berat. Jalan di hutan sangat licin karena air hujan di tanah belum mengering. Belum lagi kubangan-kubangan air berwarna coklat yang menyembunyikan akar-akar pohon atau batuan karang di dalamnya. Kalau salah melangkah, bisa-bisa terpeleset atau bahkan terkena batu karang yang tajam di dalam kubangan. Sialnya, saya berkali-kali terpeleset sampai-sampai telapak kaki kanan saya robek kena goresan karang. Sebenarnya bisa si pakai sepatu biar lebih aman, tapi harus sepatu khusus mendaki. Kalau pakai sepatu sneakers biasa seperti saya, nasibnya pasti sama, harus bertelanjang kaki dengan sepatu penuh lumpur menggantung tak berguna. Keadaan tak akan bertambah parah kalau saya menyeberang tidak terlalu sore. Saat itu saya baru menyeberang pukul setengah 5, mau tak mau harus melewati hutan dengan sumber cahaya yang terbatas. Waktu itu kami hanya bawa 4 senter untuk 6 orang. Alhasil kami hanya bisa berjalan pelan-pelan dan memastikan tidak ada teman yang terpisah tanpa berpikir bahwa kami ada dalam hutan yang sama dengan gerombolan harimau yang bisa datang kapan saja. Tapi tenang saja, bertemu dengan harimau di sini adalah kejadian yang sangat langka.

Serius ya, berjalan di tengah hutan dalam kegelapan itu bukan hal yang mudah, menurut saya. Beban di pundak lumayan berat membawa bekal air tawar, tangan dan kaki penuh lumpur, dan tentu saja saya lapar. Perut hanya bisa diganjal dengan roti karena medan tidak memungkinkan untuk membuat makanan bahkan untuk sekedar memasak air. Sepanjang perjalanan saya berkali-kali berpikir, "What am I doing here?". Tapi ya sudahlah, saya sudah sejauh dan sekotor ini. Mau pulang pun rasanya tidak ikhlas.

Hal yang paling menarik dari perjalanan saya ke Segara Anakan adalah saat harus melewati tepian jurang rendah yang berbatasan langsung dengan laut. Sebelum mencapai pantai, saya harus berjalan melipir di jalanan kecil di pinggir laut yang sangat licin sepanjang 50 meter dengan berpegangan pada ranting dan akar pohon di sekitarnya. Kalau lengah sedikit, bisa terpeleset atau bahkan terjatuh. Beruntung jika jatuh langsung ke air, kalau ke batuan karang? Tapi keadaannya tak akan seseram itu kalau kita lewat di siang hari. Paling tidak kita bisa melihat dengan jelas apa yang ada di depan mata dan apa yang sedang kita pijak.

Setelah melewati bibir jurang yang cukup membuat nafas saya kembang kempis, sekitar pukul 10 malam akhirnya saya sampai di pantai untuk pertama kalinya. Perasaannya seperti apa ya, yang jelas saya lega, saya senang, saya lapar, dan saya kotor. Meskipun saya belum bisa melihat pantainya dengan jelas karena gelap, tapi saya sudah jingkrak-jingkrak ndeso hanya dengan mendengar suara ombak. Satu hal yang saya ingat malam itu adalah bintang di langit Sempu jauh lebih banyak daripada di Surabaya atau di rumah saya.

Sesampainya di pantai, kami langsung membangun tenda dan membuat api. Hanya api dari kompor kecil yang menghangatkan kami. Kalau mau bikin api unggun ya silakan, tapi harap bersihkan bekasnya dan bawa kayu bakar sendiri. Bagaimana pun juga, memotong kayu sembarangan di hutan adalah hal yang merusak. Dan lagi, kalau malas membereskan bekas api unggun, dosanya ditanggung sendiri ya.

Tengah malam hujan turun sangat deras sampai subuh. Suara hujan dan gemuruh ombak yang membuat bising malam itu justru seperti meninabobokan saya di atas pasir berlapis terpal yang dingin dan sangat tidak empuk. Perih di telapak kaki sampai tak terasa saking dinginnya. Saya cuma bisa meringkuk dan mengapitkan kedua tangan di ketiak yang hangat. Hahaha. Selang dua jam kemudian, saya terbangun karena baju saya basah kena air hujan. Bagian samping tenda bocor dan langsung merembes ke baju saya. Lumayan lah menambah efek dingin pada tidur saya malam itu.

Menjelang subuh saya terbangun, hanya bisa duduk menghindari air yang semakin banyak mengalir masuk. Setelah hujan mereda, saya keluar tenda untuk mengambil air wudu di laut. Saat itu untuk pertama kalinya saya melihat Segara Anakan tidak dalam keadaan gelap gulita. Saya cuma bisa bilang waw. Air lautnya bening. Pantai ini dan Samudra Hindia hanya dibatasi dengan batuan karang. Di sebelah kiri (maaf saya buta arah) terdapat lubang karang tempat dimana air dari samudra masuk ke laut yang terisolasi ini. Di sekeliling laut hanya ada bukit-bukit karang, tebing, serta hutan di belakang yang sebelumnya sudah saya lewati untuk mencapai pantai ini. Hanya ada warna hijau dan biru di depan mata saya. Tak ada listrik. Tak ada kamar mandi. Sumber air tawar pun sangat jauh dan keruh, terlebih saat musim hujan.

Lubang karang


Dengan naik ke tebing karang yang ada di sebelah kiri, kita bisa melihat Samudra Hindia yang luas dengan ombaknya yang besar. Kalau sedang beruntung bisa melihat gerombolan lumba-lumba berkejaran di laut lepas saat sore. Sayangnya saya kurang beruntung karena harus segera kembali sebelum kemalaman lagi di hutan. Ya...mungkin di kesempatan lain.

Samudra Hindia di balik Segara Anakan

Sebenarnya saya tak rela meninggalkan pantai ini mengingat harus melewati medan yang sama seperti saat berangkat, tapi bekal sudah habis dan saya merasa sangat kotor. Air laut tidak membantu banyak untuk menghilangkan gatal-gatal di badan. Maka pulanglah kami dengan bekal energi hanya dari mie instan. Perjalanan pulang bisa kami tempuh "hanya" dalam 3 jam saja. Cahaya terang memang benar-benar sangat membantu. Tangan kami mulai terampil berpegangan pada ranting pohon. Kaki kami juga sudah telaten untuk memilih tempat berpijak. Tapi yang jelas masih dengan badan yang penuh lumpur.

Eit, tapi lupakan semua cerita saya tentang perjalanan menuju Segara Anakan tadi jika kita ke sana saat musim kemarau. Medannya akan menjadi sangat ramah dan mudah dilewati, tak perlu susah-susah mencari ranting untuk pegangan atau mencari pijakan yang aman. Saat saya mengunjungi Sempu di musim kering, trek yang sama bisa ditempuh hanya dalam waktu 75 menit. Hanya dengan bermodal sendal jepit saya bisa mencapai pantai dengan pakaian masih rapi dan bersih. Tidak ada lagi jalanan yang licin dan mendebarkan. Sama mudahnya dengan berjalan di Tunjungan Plasa dengan bonus sedikit tanjakan dan beberapa pohon yang sudah tumbang di tengah-tengah jalan.

Semua hal yang saya rindukan dari Pulau Sempu, membuat saya selalu ingin kembali lagi ke sana, dengan teman-teman yang menyenangkan, dan tentunya di musim kering. Pantai-pantai di Bali memang sangat indah, tapi pantai ini masih yang paling menarik, menurut saya. Mungkin untuk sebagian orang pantai ini biasa saja, tapi bagi saya yang datang dengan badan penuh lumpur, telapak kaki yang perih, dan perut yang sangat lapar, pantai ini terasa sangat nyaman.


"Saya sangat menyukai pantai tersembunyi ini, karena di tempat ini saya bisa menemui tiga hal yang paling saya sukai: suara ombak di malam hari, sinar matahari yang masuk melalui celah-celah dedaunan, dan gerimis di pagi hari.."